Pergi Untuk Kembali Atau Kembali Untuk Pergi #Part - 3
***Part Sebelumnya...
Hari demi hari Rives lalui dengan berat. Sepi melanda dirinya. Sesekali anan-anak asuhnya membuatnya terhibur. Namun, ketika malam datang, Rives kembali masuk dalam bejana kesepian. Sepi, rindu dan khawatir menjadi satu di dalam jiwa Rives.
Hari demi hari Rives lalui dengan berat. Sepi melanda dirinya. Sesekali anan-anak asuhnya membuatnya terhibur. Namun, ketika malam datang, Rives kembali masuk dalam bejana kesepian. Sepi, rindu dan khawatir menjadi satu di dalam jiwa Rives.
"Ya
Tuhan, lindungilah suamiku dari semua bahaya, jagalah dia,
selamatkanlah dia, dan tenangkanlah hati dan jiwaku ini.."
Lantunan
do'a selalu terucap oleh Rives. Hanya do'a yang bisa ia panjatkan
untuk Arash. Tiada yang lebih indah bagi Rives selain Arash.
Setiap
hari Rives harus tahu kabar pertempuran di daerah perbatasan. Dia
harus tahu keadaan suami tercinta. Tak ada satu berita yang
terlewatkan oleh Rives, baik itu berita di TV, radio dan surat kabar.
Sudah
tiga bulan Arash tidak pulang, rindu kian menyusup ke relung jiwa
Rives. Apa lagi kini usia kehamilannya sudah berusia empat bulan.
Minggu-minggu ini Rives lehih khawatir dari hari-hari sebemnya. Ya,
setelah dia melihat berita bahwa pasukan penyerang mendapatkan
bantuan dari sekutunya. Sambil mengelus perutnya yang sudah membesar,
Rives mencoba mengajak ngobrol dengan buah hatinya.
"Kita
do'a kan ayah ya nak, semoga ayah baik-baik saja. Ayah akan kembali
kepada kita. Ibu juga sudah sangat rindu.. Kita sangat merindukan
ayah nak.." Air mata kian berderai.
Jika
hanya rindu pastilah Rives mampu menahannya. Jika hanya cinta, Rives
masih bisa tersenyum meski harus terpisah oleh jarak dan waktu. Jika
hanya sebuah kasih sayang, Rives masih bisa mengasihi dia dengan
do'a-do'a yang selalu ia panjatkan. Tapi, ini bukanlah sebuah rindu,
cinta dan kasih sayang. Ini adalah sebuah tangisan dan jeritan jiwa
yang telah mengalir pada setiap desiran darah. Yang selalu ada di
setiap helai nafas. Dan sebuah rasa yang selalu ada sampai kapan pun.
"Selamat
malam, Radar News kembali memberitakan info terkini."
"Malam
hari ini prajuri-prajurit yang dipimpin Kapten Arash berhasil
memaduki benteng pertahanan lawan. Pertempuran sengit sedang terjadi.
Dan ini liputan secara langsung di medan perang."
Rives
tak berkedip mata untuk menyaksikan berita malam ini. Dia harus
melihat peperagan itu. Ada rasa senang tapi terselip khawatir, ketika
ia melihat pesawat yang dioperasikan oleh suaminya. Dia sangat tahu
dan kenal apa yang digunakan oleh suaminya. Pertempuran di udara yang
menegangkan. Arash berhasil memasuki jantung pertahanan lawan. Tujuan
Arash sangat tepat sasaran, ia berhasil meluncurkan amunisi ke
pertahanan lawan.
"NOOOOOO....!!!!!!!!!
ARAAAAASSSHHHH..!!!" Rives menjerit sekuatnya, ia melihat
Arash mampu meluncurkan amunisi ke jantung lawan, namun naas pesawat
dikemudikan Aras ikut meledak. Kepulan asap membuat tak jelas apa
yang terjadi pada Arash.
Jeritan
Rives terdengar sangat keras, hampir seluruh penghuni markas
mendengarnya. Ibu Julia segera menemui Rives, dia khawatir terhadap
kesehatan bayi dan Rives. Ibu Julia berusaha untuk menenangkan Rives.
Sungguh
malam yang mencekam untuk Rives. Dia tertunduk lesu, pandangannya
kosong, dan air matanya tertumpahkan. Wajahnya seketika langsung
pucat, seperti mayat hidup. Bibirnya kebiruan dan bergetar. Dan yang
lebih menyedihkan adalah jiwa dan hatinya, ia merasa hilang,
terhempas badai dan tak terarah.
Malam
yang mencekam itu menjadi ramai, semuanya mengucapkan keprihatinan
atas apa yang terjadi pada Arash. Semoga esok hari Arash bisa
ditemukan.
Demi
kesehatan Rives, ibu Julia membawanya ke klinik. Rives harus
beristirahat. Bayi yang di kandungnya juga harus sehat. Rives
berharap ini semua adalah mimpi. Ya hanya mimpi, mudah-mudahan ini
hanyalah mimpi.
Esok
pagi pukul 06.00 matahari sudah tampak cerah di ufuk timur.
Bunga-bunga mulai bermekaran. Gemerciknya air mulai terdengar jelas,
bukan suara tembakan dan bom meletus yang terdengar. Tapi, hati
sedang menangis, termasuk Sam, teman baik Arash. Sam sangat
kehilangan seorang kapten dan sahabat yang sangat baik.
"Sam,
sudahlah jangan bersedih terus. Ikhlaskan saja, biarkan dia juga
tenang." Pinta Alden ke Sam.
"Aku
tak percaya, aku masih belum percaya kalau pak Arash akan pergi
secepat ini. Tapi aku yakin, dia pasti masih hidup, kalau dia sudah
meninggal, pasti ada jasadnya. Sampai saat ini jasadnya belum
ditemukan. Dimana jasad itu? Kita harus menemukannya.!" Sam
kian bersedih.
"Nanti
kita akan mencarinya lagi di sudut-sudut gedung benteng itu. Dan kita
juga harus mencari di rentuhan puing-puing sisa perang." Ungkap
Alden.
"Kita
harus menemukan Arash."
Alden,
Sam dan semua pasukan kembali mengevakuasi korban pertempuran di
benteng pertahanan lawan. Mereka membebaskan semua sandera dan
tawanan perang. Tak lupa juga mereka menyusuri puing-puing yang telah
rata dengan tanah. Mereka terus mencari sesosok pria yang bernama
Arash. Arash, di mana dia? Apakah dia masih hidup? Atau dia ikut
hancur bersama pesawatnya.
"Pak
Araaash.. di mana anda?" Teriak Sam, dia sangat lelah untuk
mencarinya.
Hari
sudah gelap, tempat ini juga sudah mulai bersih dari
serpihan-serpihan sisa perang. Sebagian prajurit kembali ke tenda
untuk bersiap-siap besok pagi kembali dengan membawa kemengan.
"Sam,
kita pulang sekarang." Ucap Alden. Sam hanya mengggelengkan
kepalanya. Meskipun sudah sangat lelah, dia masih ingin mencari
Arash.
"Arash,
dimana dia?" Tanya Sam.
"Kita
tidak menemukannya, semua reruntuhan gedung sudah dibersihkan. Tapi,
nihil pak Arash tak ditemukan. Dan ada yang aneh juga, pesawatnya
hancur, tetapi black box tak ada. Kita tak bisa tahu apa yang
menyebabkan pesawatnya hancur. Apakah itu karena kerusakan pesawat
atau memang dari serangan lawan."
"Aku
yakin itu dari lawan, pak Arash selalu mengecek kondisi pesawatnya.
Oh Tuhan, dimana dia? Bagaimana dengan istrinya? Apakah dia sudah
tahu, aku berharap dia belum tahu. Apa yang harus kita katakan pada
istrinya, pasti dia akan memberikan pertanyaan-pertanyaan pada kita.
Baiklah.. kita pulang." Ungkap Sam dengan penuh kecewa.
"Aku
harap istrinya belum tahu tentang hal ini. Tapi, kalau dia sudah
tahu, apa yang kita katakan pada dia?" Lanjut Sam. Dia
menghela nafas panjang.
"Baiklah,
kita pulang." Sam menjadi
seperti orang yang linglung, tak tahu apa yang harus ia lakukan.
Langkah
demi langkah Sam, Alden dan pasukannya diikuti oleh rombongan Sandera
yang sudah bebas.
"Tuan-tuan,
maaf.. tunggu sebentar." Ucap salah seorang sandera yang
sudah bebas. Dia seoarang laki-laki yang sudah renta, namun masih
terlihat sehat.
"Iya,
bagaimana kek? Apa yang bisa kami bantu?" Tanya Alden.
"Apakah
tempat ini sudah aman?" Tanya kakek itu.
"Iya."
Jawab Alden singkat. Berharap tempat ini memang sudah benar-benar
aman.
"Jika
tempat ini sudah aman, biarkan kami tinggal di sini saja. Ini adalah
tempat leluhur kami. Kami dilahirkan dan dibesarkan di tempat ini.
Kami semua tak ingin meninggalkan tempat ini." Jelas kakek
itu.
Sam
dan Alden saling berpandangan. Kemudian mereka mengangguk. Alden dan
Sam menyetujuinya. Mereka menata kembali kota kecil ini. Kota ini
terletak di perbatasan, jadi dengan mudah para musuh untuk menyerang,
bahkan musuh mereka adalah dari negeri tetangga.
Tiga
hari Alden dan pasukannya menata kota kecil di perbatasan. Kota itu
sudah layak huni lagi, masyarakat sudah hidup dengan tenang lagi.
Alden, Sam, dan rombongannya kembali ke markas. Menyisakan beberapa
prajurit untuk berjaga-jaga. Bahkan, Alden memasang kamera pengintai.
Hal itu ia lakukan jika terjadi sesuatu bisa segera di atasi.
Sampainya
di markas, Alden dan pasukannya di sambut oleh sang Jenderal,
teman-teman dan warga sipil yang tinggal di markas. Mereka bahagia,
tetapi juga sedih, karena kapten mereka tak bisa kembali. Sang
Jenderal pun ikut bersedih dan menitihkan air mata.
"Kita
semua wajib berbangga terhadap Arash, dan kita juga wajib
mendo'akannya. Jika dia sudah meninggal, kita berharap jazadnya
segera ditemukan. Jika dia masih hidup, semoga dia baik-baik saja dan
segera kembali kepada kita." Ucap Jenderal Jordan dengan
penuh haru.
"Sam,
Alden." Ucap Jenderal Jordan.
"Iya
pak"
"Setelah
ini, kalian temuilah istri Arash."
"Apakah
dia sudah tahu tentang apa yang terjadi pada pak Arash?"
Balas Sam.
"Mungkin,
justru dia tahu dari awal dibandingkan kita."
"Lalu
bagaimana keadaannya?" Sam ingin tahu.
"Rives
masih mengurung diri di kamar. Setiap hari dia hanya melihat berita.
Berharap ada keajaiban bahwa suaminya telah ditemukan. Tiada hari
tanpa air mata. Tapi dia punya keyakinan yang sangat kuat, bahwa
suaminya masih hidup." Ungkap Jenderal Jordan, matanya pun
berkaca-kaca.
Setelah
Alden dan Sam beristirahat sejenak, dia segera menemui Rives.
"Selamat
malam nyonya.." sapa Sam dengan penuh ragu.
"Maaf,
kami berdua mengganggu istirahat anda." Lanjut Alden.
Rives
yang sedang makan malam secara terpaksa karena disuapi ibu Julia,
beranjak menemui Sam dan Alden.
"Sam,
Alden..." Ucapnya lirih, nyaris tak terdengar. Air matanya
mulai terurai.
"Maafkan
kami nyonya, kami tak bisa menjaga suami anda." Ucap Alden.
"Kami
sudah mencarinya, tapi kami tak berhasil menemukannya."
"Apa
kaliam sudah mencari di seluruh tempat kota itu?" Rives
mulai emosi.
Sam
dan Alden hanya mengangguk, mereka tak sanggup lagi untuk
menjawabnya.
"Ya
Tuhan,,, di manakah suamiku? Aku yakin Engkau menjaganya dengan baik.
Aku yakin dia masih hidup." Rives menjerit. Isak tangisnya
begitu memilukan.
Ibu
Julia mencoba memapah Rives ke kamar. Rives harus istirahat agar
kesehatannya membaik.
"Sabar
sayang, pasti akan ada titik terang. Jangan emosi seperti ini,
kasihan bayimu."
Sam
dan Alden semakin tak kuasa melihatnya, hati mereka pun ikut
menjerit.
Jika
Arash tak ditemukan, apa yang akan terjadi pada perempuan berusia 27
tahun ini. Dia sedang hamil, sungguh beban yang sangat berat baginya.
Sebulan
telah berlalu, belum ada berita tentang Arash. Rives kian memburuk
kesehatannya. Dan tak tahu apa yang tejadi pada bayi yang
dikandungnya. Rives sesungguhnya mencoba tetap tegar menghadapi semua
ini. Masih tetap bisa tersenyum kepada semua orang. Namun, siapa yang
tahu kalau sesungguhnya hatinya terus menjerit dan menangis.
Di
manakah Arash yang sangat mencintai dan menyayanginya?
Post a Comment for "Pergi Untuk Kembali Atau Kembali Untuk Pergi #Part - 3"
Terima kasih telah membaca postingan pada blog saya. Silakan tinggalkan komentar, dimohon jangan menggunakan link hidup.
Terima kasih.
:) :)