Empat Tahun
Cerita pendek ini juga pernah diikutkan dalam event, sayangnya, lagi-lagi tidak lolos :D
Cinta, satu kata penuh makna. Meski di dunia ini telah memiliki segala hal duniawi, tetapi ketika hati tidak memiliki cinta. Apalah arti hidup ini. Hidup ini akan bermakna dan penuh warna ketika hati dan jiwa ini memiliki cinta yang tulus. Mencintai tanpa mengharap balasan, itulah hakikat cinta. Namun, pada kenyataannya mencintai tak bisa memiliki adalah hal yang sangat menyakitkan.
EMPAT TAHUN
Oleh : Ery Udya
Cinta, satu kata penuh makna. Meski di dunia ini telah memiliki segala hal duniawi, tetapi ketika hati tidak memiliki cinta. Apalah arti hidup ini. Hidup ini akan bermakna dan penuh warna ketika hati dan jiwa ini memiliki cinta yang tulus. Mencintai tanpa mengharap balasan, itulah hakikat cinta. Namun, pada kenyataannya mencintai tak bisa memiliki adalah hal yang sangat menyakitkan.
Tak terasa empat
tahun sudah berlalu, aku masih sendiri. Meratapi
kesendirian setelah dia pergi begitu saja tanpa ada kabar. Entah
mengapa aku masih percaya dia akan kembali padaku. Aku percaya jika
dia memang benar dia bukan
untukku pasti aku akan bertemu dengan penggantinya. Namun, jika
takdir menetapkan dia untuk menjadi milikku, pasti ada jalan untuk
bertemu dengannya kembali meski aku harus melewati jalan yang penuh
duri.
Aku mencoba
bertahan dari semua cobaan ini. Tak jarang ku dapati sindiran dan
hinaan dari semua orang karena
aku belum mendapatkan jodoh. Aku percaya,
Tuhanku selalu menjaga hatiku, agar aku tidak
salah memilih siapa pasangan hidupku.
Hari ini, aku
lelah sekali di tempat kerja semua pekerjaan harus selesai.
“Indah,
laporan bulan ini harus segera dikirim.” Perintah bosku.
“Iya, Pak.”
Jawabku singkat.
“Dan satu hal
lagi, tolong segera siapkan dokumen untuk meeting
siang nanti.” Perintahnya begitu bertubi-tubi.
Aku lelah di
kantor hingga aku pulang kerja telat, sekitar pukul tujuh malam aku
baru mau keluar dari kantor. Aku berharap semoga saja masih mudah
untuk mencari taksi dan aman. Aku berjalan menyusuri jalan sendiri,
aku mencari taksi namun tak kunjung datang. Aku merasa capek dan
haus, ku putuskan untuk singgah di swalayan untuk membeli air
mineral. Kemudian, aku menungu taksi di depan swalayan itu.
Mungkin karena
hari ini adalah hari yang
tidak menguntungkan untukku,
saat menunggu taksi pun hujan turun. Yang tadinya aku berniat untuk
berjalan ke pangkalan taksi, aku pun terhenti dan masih berdiri di
sekitar swalayan. Deras hujan yang turun membuat pandanganku kurang
jelas. Terlihat ada sebuah mobil berwarna hitam berhenti di depan
swalayan itu. Perlahan aku melihat siapa yang turun dari mobil
tersebut. Dia mendekatiku.
“Akhirnya aku
bisa menemukanmu kembali, Indah.” Kami saling menatapnya. Perasaan
dalam hatiku tidak menentu lagi. Apa yang harus aku lakukan kepada
orang ini.
“Kau? Lama tak
jumpa, bagaimana kabarmu?” aku hanya sedikit basa-basi karena tidak
tahu harus bertanya apa lagi.
“Baik, kamu
sendiri?” dia membalas tanya.
“Baik,”
jawabku.
Dia mengajakku
pulang bersamanya, aku menolaknya, tapi aku tahu, aku tak mungkin
kuasa untuk menolaknya. Aku tahu bagaimana sifatnya, apa yang menjadi
inginnya harus terpenuhi. Kami berdua tidak langsung menuju rumahku,
dia mengajakku untuk makan malam. Aku hampir lupa kapan terakhir aku
makan malam dengan seorang pria.
“Kenapa kamu
membawaku ke mari? Ada perlu apa?” tanyaku.
“Tak bisakah
kau menanyakan hal lain?” dia membalas bertanya. Aku melihat raut
wajahnya yang mulai emosi dengan pertanyaanku.
“Aku harus
bertanya apa? Keadaanmu sekarang jauh lebih baik dari sebelumnya,
bukan? Dan aku harus bagaimana? Apa selama ini kau pernah
menanyakanku? Tidak, kan? Tidak pernah sedikit pun kau mencari tahu
bagaimana keadaanku. Aku selalu mencarimu, mencoba menghubungimu
berkali-kali hingga aku hampir kehilangan harapan. Apa kau tahu itu?
Dan kau saat ini memintaku untuk bertanya hal lain selain aku
bertanya kenapa kau membawaku
ke mari? Perlu kau ketahui, semua pertanyaan yang aku berikan padamu,
telah habis, tidak perlu ada lagi yang harus aku tanyakan padamu.
Empat tahun telah berlalu,
sudah cukup untuk memberikan semua jawaban-jawaban, bahwa aku
bukanlah milikmu, dan aku akan
berhenti mengharapkanmu. Hatiku sudah
sangat lelah untuk meunggumu, Reza! Aku sudah
lelah, aku mohon jangan kembalikan semua ingatan yang membuat aku
hancur. Aku mohon, Reza.” Segenap rasa,
ku tahan di hati, ingin rasanya ku teteskaskan semua air mata
mengingat semua masa lalu itu.
“Kau salah!
Aku pergi meninggalkanmu bukan berarti aku tidak mencintaimu, Indah.
Seharusnya kamu mengerti bagaimana keadaan kita dulu, tak mungkin
kita menikah dalam kondisiku yang dulu tak memiliki apa pun. Setahun
terakhir ini aku mencarimu, aku datang ke rumahmu yang dulu, ternyata
kamu dan keluargamu sudah pindah. Aku tahu aku salah telah
meninggalkanm begitu saja tanpa pesan. Aku terpaksa harus
melakukannya, semua itu aku lakukan agar aku memang pantas untuk
menjadi pasangan hidupmu.”
Aku berdiri,
beranjak pergi meninggalkan dia. Aku tidak ingin mendengar penjelasan
dari dia. Ku langkahkan kakiku walau berat untuk meninggalkannya. Ku
terobos semua jalan yang diguyur hujan dengan lebatnya. Langit seakan
tahu bahwa aku sedang terluka. Langit tahu aku telah masuk ke dalam
bejana luka yang menyayat hatiku hingga hujan pun tak kunjung reda.
Orang-orang yang
melihatku, pasti mereka menganggapku sudah gila! Ya, memang aku sudah
gila. Berjalan sendiri, menangis di malam yang diguyur hujan. Memang
hanya orang gila yang bisa melakukan hal ini. Aku gila karena hatiku
terluka lagi. Empat tahun itu bagiku waktu yang sangat lama. Dan kini
aku harus melihat wajahnya lagi.
***
Sudah beberapa
hari ini, semenjak aku bertemu kembali dengan Reza, aku lebih memilih
menghindar dari semua orang. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan
diriku sendiri. Tapi, yang aku tahu, aku sampai cuti tiga hari, aku
tidak masuk kerja. Aku tidak bisa berkonsentrasi ke hal lain. Semua
pikiranku tertuju ke Reza, Reza dan hanya Reza! Namun, mengingat dia,
menyesakkan hatiku. Aku belum bisa berdamai dengan hatiku, aku masih
membenci dia. Luka itu kembali menganga setelah aku bersusah payah
untuk membalutnya.
Musim hujan di
kota ini belum berhenti. Hari itu, ku paksakan untuk masuk kerja
meski gerimis deras di pagi hari. Aku sudah tiga hari tidak masuk,
meninggalkan semua tanggungjawabku. Hari ini aku memaksa diri untuk
berkonsentrasi. Mencoba melupakan hatiku yang masih tersayat luka.
Hari yang sangat
sibuk, benar-benar sibuk. Telepon dari sana sini terus berdering di
ruang kerjaku. Bahkan menjelang makan siang seperti ini.
“Halo, selamat
siang,” sapaku.
“Siang, Indah,
aku sudah di area parkir kantormu, keluarlah, aku mohon.” Katanya
sedikit memaksa, siapa lagi kalau bukan Reza.
“Mau apa lagi
kamu, Reza?”
“Keluar, atau
aku yang menghampirimu ke ruang kerjamu.” Sepertinya yang
sudah-sudah dia selalu memaksa. Aku menemuinya, dan akhirnya kami
makan siang bersama.
Suasana makan
siang kali ini lebih santai jika dibandingkan makan malam beberapa
hari yang lalu. Dia menatapku begitu tajam, mengatakan semua hal yang
ada di hatinya. Hampir aku tidak bisa menyela kalimatnya. Begitu
cepat dan jelas. Aku tertunduk. Berpikir sejenak, benarkah dia tetap
mencintaiku? Aku menatap matanya, dalam, mencoba membaca semua yang
tersirat dari hatinya, karena mata adalah jendela hati.
Dia mengungkapan
semua keseriusan akan cintanya. Aku luluh, karena memang aku sangat
mencintainya. Meski sudah empat tahun tiada komunikasi, tetapi hati
ini tetap milik Reza. Senandung cinta yang merdu ini hanya untuk
Reza. Semua emosi yang telah membakar hati selama ini, kini sudah
berganti musim semi. Musim yang mampu menumbuhkan segala rasa cinta
dan kasih sayang untuk Reza. Dan aku pun menerima dia kembali,
menerima dia sebagai pasangan hidupku. Karena aku ssangat
mencintainya. Beribu luka yang telah tergores di hatiku, telah
terobati. Memang hanya dia yang telah membuat luka, dia juga yang
mampu mengobati luka dengan sempurna.
*****TAMAT*****
Post a Comment for "Empat Tahun"
Terima kasih telah membaca postingan pada blog saya. Silakan tinggalkan komentar, dimohon jangan menggunakan link hidup.
Terima kasih.
:) :)