Romansa Cinta di Tanah España - Part 3
Part sebelumnya...
***Bersambung ke Part-4
Keahlianku
adalah tentang design grafis. Sebenarnya berawal dari suka
mengedit-edit foto di laptop. Tetapi, pada akhirnya itu menjadi
keahlianku untuk merancang sebuah design. Dengan hal itu aku diterima
dengan mudah di salah satu perusahaan majalah yang terkenal di
Spanyol. Bahagia rasanya bisa bekerja sama dengan orang-orang yang
mempunyai dedikasi tinggi.
Aku
memiliki seorang atasan, dia tulen dari tanah Catalan, Barcelona.
Hmm, mendengar nama 'Barcelona' aku menjadi ingin ke sana juga.
Selain ingin melihat Camp Nou yang merupakan markas dari FC
Barcelona, di sana juga merupakan tempat yang indah. Pantai Barcelona
itu sungguh mendamaikan. Pemandangannya indah dan nuansa romantis
selalu ada di Barcelona. Tapi bicara tentang romantisme, pergi dengan
wanita mana, aku? Kekasih pun tiada. Entahlah, pernah kujatuh cinta
pada seorang wanita, tetapi dia akhirnya pun lepas dariku. Dia lebih
memilih dengan laki-laki lain. Semenjak itu, hampir lima tahun ini
belum pernah kujumpai lagi seseorang yang mampu menggetarkan hatiku.
Ah,
membahas tentang cinta dan wanita tidak akan pernah ada habisanya.
Lebih baik aku kembali ke dunia kerjaku yang baru. Aku menyukai
tempat kerjaku ini. Meskipun berbeda bangsa, tapi mereka saling tetap
menghargaiku selama aku memiliki kemampuan dan berhasil membuktikan
bahwa karya yang aku ciptakan itu layak untuk dipasarkan. Aku
berhasil membuat design cover majalah yang membuat mereka takjub. Ini
memang tentang fashion tetapi aku tahu tentang bagaimana mengemas
fashion dalam satu buku.
Hari
ini ada atasanku mengatakan akan ada seorang model yang ingin menemui
karena hasil design coverku. Aku sendiri grogi dan gugup. Mimpikah
itu? Atau hanya sebuah halusinasiku saja? Seorang model di Spanyol
ingin bertemu dengaku? Tapi ini ternyata benar-benar terjadi, dia
memintaku untuk menemuinya di Cafe Plaza Mayor pukul lima sore.
Dari
kejauhan aku memandang siapa yang sedang menungguku di Cafe Plaza
Mayor meja nomor 47. Dia memakai gaun berwana merah yang menyala
seperti banteng yang akan menyuruduk. Matanya tajam berwarna biru,
hidungnya hampir mirip dengan paruh burung gagak, jika dibandingkan
dengan hidungku, tentu hidungku ini sangat pesek. Bibirnya sedikit
tebal dengan warna lipstik merah muda, bulu matanya menggunakan bulu
mata palsu tapi sangat mirip dengan bulu mata asli. Dia memakai
sepatu hak tinggi yang buatku itu bisa menyakitkan kaki karena hak
sepatu itu sekitar tujuh belas senti meter.
“Ah,
wanita, selalu berusaha untuk tampil sempurna. Apa lagi dia seorang
model.” Pikirku.
Aku
berjalan terus menghampirinya. Sampai di depannya aku bingung harus
mengatakan apa. Gugup dan sebagainya. Aku tidak tahu harus bersikap
bagaimana, mungkin karena dia tahu aku gugup, dia memulai untuk
menyapa.
Sumber : Google Image |
“Hai, buen día
, ¿Es cierto que usted es el Andre amo?”
dia menyapaku.
Oh,
matilah aku, dia menggunakan bahasa Spanyol. Bahasa Spanyolku belum
lancar. Baru belajar beberapa bulan.
“Yes,
right, and I'm sorry, what it's your name, Miss?” terpaksanya
aku menggunakan bahasa Inggris. Sungguh tidak bisa lancar untuk
mengobrol dengan dia.
“I'm
Shelly Fernandez,” jawabnya mengikuti menggunakan bahasa
Inggris. Mungkin dia tahu aku kurang fasih dalam bahasa Spanyol.
“Nice
to meet you, Miss Shelly.” Balasku.
“Fine,
and call me ‘Shelly’,” jawabnya. Kami berdua duduk
berhadapan. Kini aku melihat dengan jelas siapa yang ada di depan
mataku. Wajahnya begitu lembut, kerlingan matanya membuatku sulit
untuk melepaskan pandangan dari dia. Dan lebih gilanya lagi aku masih
merasakan jemarinya di tanganku saat berjabat tangan dengan dia.
Aku
memesan minum yang sama dengan dia, karena aku sendiri tidak tahu
harus memesan apa di sini. Terlebih aku takut kalau lidahku ini tidak
cocok dengan lidah orang Spanyol. (Untuk memudahkan pemabaca,
obrolan ini kujadikan menjadi bahasa nusantara).
“Aku
sudah melihat majalah yang terbit edisi minggu ini. Aku suka sekali
dengan designnya. Aku menghubungi ke kantor majalahnya, dan mereka
mengatakan bahwa andalah yang membuat design cover itu. Maka dari
itu, saya ingin menemui Anda. Apakah tidak masalah buat Anda?” dia
memulai membukat topik. Ini yang ku harapkan agar aku tidak gugup
jika hanya diam saja.
“Oh
ya, benar, Nona Shelly, mmm... maksudnya Shelly. Apa Anda ingin
design cover yang khusus?” tanyaku.
“Ya,
begitulah, aku model fashion di majalah tersebut. Aku mau Anda
mendesign covernya dengan warna yang lebih terang lagi. Aku suka
warna-warna yang cerah seperti pink, merah, hijau muda dan biru laut.
Aku ingin memadukan fashion dengan keindahan alam. Apakah sekiranya
Anda bisa, Tn. Andre?”
“Ya
akan saya usahakan. Mmm... dan maaf juga, panggil nama saya saja,”
balasku. Aku tidak nyaman dipanggil dengan sebutan 'Tuan', apa lagi
aku ini masih muda. Papaku saja yang sering keluar masuk luar negeri
dan sudah berumur lebih dari lima puluh, yang memanggil 'Tuan' itu
hanya beberapa orang tidak sampai lima orang yang memangil papaku
dengan sebutan itu.
Bagiku,
pertemuan dengan Shelly adalah pertemuan yang menyenangkan. Esok
harinya dia sudah datang di kantor dan menemuiku di ruang kerja. Dia
mengarahkan bagaimana design cover majalah edisi selanjutnya. Ini
tugas penting bagiku! Aku tidak boleh menyia-nyiakan dan mengecewakan
semua orang. Apa lagi sampai mengecewakan wanita cantik itu.
Sumber : Google Image |
Waktu
terus bergulir, aku merasa nyaman dengan Shelly, dia seorang model
tetapi dia tidak pernah menyombongkan diri. Dia memiliki semuanya,
tetapi dia tetap rendah hati. Kepada seluruh staf di sini, dia
bersikap sangat sopan. Aku semakin ingin tahu siapa dia, tetapi aku
sendiri takut untuk menanyakan hal-hal yang lebih detail kepada dia.
Aku takut dia marah atau tersinggung, aku harus menyimpan semua
pertanyaan-pertanyaanku sampai waktu yang tepat itu tiba.
“Andre,”
sapanya.
“Iya,
saya.”
“Maaf
sebelumnya, aku lupa besok itu weekend, untuk tabloid pribadiku aku
belum menyelesaikan covernya. Kau bisa menolongku?” pintanya dengan
wajah yang memelas.
“Tabloid
pribadi? Hmm, tentang apa? Dan mau seperti apa designnya?” tanyaku.
“Iya,
tabloid pribadiku ini tentang resep masakan. Aku lupa kalau besok
Sabtu harus dicetak, tetapi aku belum mengambil foto untuk makanan
yang akan menjadi ikon di tabloid itu.”
“Okay,
saya bisa. Saya akan buatkan designnya juga, yang penting foto itu
sudah ada.”
“Sebentar,
aku menunggu foto kiriman dari koki. Aku harap dia sudah selesai
memasak dan segera mengirimkan gambarnya untukku.”
Aku
dan Shelly menunggu beberapa menit foto dari sang koki. Sebenarnya
jam kerjaku sudah selesai, tapi aku tidak tega meninggalkan dia
sendiri dalam kesulitan seperti ini. Terlihat dengan jelas kecemasan
dalam wajahnya yang membuktikan bahwa foto itu harus segera diedit
dan dijadikan cover untuk tabloid makanannya.
“Ini
dia sudah dikirim fotonya.” Dia menunjukkan foto itu padaku. Aku
tidak tahu makanan apa itu. Sepintas terlihat seperti daging sapi
yang direbus, tetapi dicampur dengan rempah-rempah dan sayuran
lainnya.
“Boleh
aku tahu apa nama makanan itu?” tanyaku.
“Ya,
tentu saja, ini bernama ‘Cocido’, ini terbuat dari bahan dasar
daging sapi atau daging yang lainnya dicampur dengan sayur dan kacang-kacangan. Ini merupakan makanan khas di kota ini, Madrid. Kau
belum pernah mencobanya?”
“Belum,”
jawabku singkat.
Dia
memberikan ponselnya kepadaku, agar aku bisa mengambil foto itu.
Segera aku mengedit foto itu di laptop. Aku buat seoriginal mungkin,
agar orang-orang tertarik untuk membaca dan datang ke restorannya.
“Oh
ya, tolong tambahkan nama restoranku di bagian bawah makanan ini.
Hurufnya yang cantik dan berwarna biru muda.” Ucapnya.
“Apa
nama restorannya?”
“Nama
restoranku ‘Espania Resto’.” Jawabnya.
“Kalau
boleh tahu, sudah berapa lama Espania Resto ini berjalan?”
“Baru
mau tiga tahun ini. Makanan Cocido adalah makanan pertama yang akan
kami masak. Selama ini kami memasak makanan dari Timur Tengah dan
Asia. Kali ini aku ingin memberikan sajian yang baru bagi para
pengunjung setia kami.” Terangnya.
“Timur
Tengah? Asia? Kenapa tidak memaksa makanan Eropa?” tanyaku ingin
tahu dan penasaran. Kenapa dia memasak makanan dari Timur Tengah dan
Asia?
“Lidahku
kurang cocok dengan lidah orang Eropa, karena biar bagaimana pun aku
ada darah Asia. Waktu kecil aku tinggal di Pontianak, tempat
kelahiran ibuku. Tapi karena bisnis ayahku tidak berkembang di sana,
akhirnya ayahku memutuskan kembali ke Spanyol.” Dia menjelaskannya
kepadaku. Dan ternyata dia memiliki darah orang Indonesia juga.
“Ternyata
kita masih satu rumpun.” Balasku.
“Iya,
wajahmu, aku mengenal wajah-wajah orang Indonesia. Mereka ramah
semuanya. Aku senang sekali. Dan hari ini aku sangat bahagia, orang
yang membantuku juga orang Indonesia.”
Kami
melewati waktu hingga jam delapan malam. Akhirnya cover tabloid itu
selesai juga. Aku merasa senang melihat dia tersenyum lagi.
“Oh, Muchas
gracias. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana jika tidak
ada kau di sini. Mungkin aku sudah berlari-lari mencari seorang
designer grafis untuk membuat cover tabloid ini.” Ungkapnya.
“Igualmente,
selama aku bisa membantu, aku pasti akan melakukannya.”
Dia
melempar senyum yang sangat manis padaku. Itu membuat hatiku tidak
menentu. Dia sempat mengajakku untuk pulang bersama dia, tetapi aku
menolaknya. Aku tahu dia pasti akan sangat sibuk dengan tabloidnya.
Dia pergi meninggalkanku dengan berlari. Dia sangat tergesa-gesa.
Tabloidnya besok harus sudah beredar. Aku terus melihatnya dari jauh
hingga dia benar-benar hilang dari pandanganku.
Post a Comment for "Romansa Cinta di Tanah España - Part 3"
Terima kasih telah membaca postingan pada blog saya. Silakan tinggalkan komentar, dimohon jangan menggunakan link hidup.
Terima kasih.
:) :)