Romansa Cinta di Tanah España - Part 8
Part sebelumnya...
Hubungan
kami sudah berjalan tiga bulan. Aku memperkenalkan Shelly kepada
orang tua, mama sangat menyukai Shelly. Selain dia cantik, dia juga
sangat baik dan keibuan. Kami sering menghabiskan waktu di Espania
Resto, menikmati sajian yang membawa kita semua ke nuansa Indonesia.
Aku
dan Shelly sering mengahabiskan liburan bersama. Menyaksikan
pertandingan sepak bola di Santiago Bernabeu, berjalan-jalan di Plaza
Mayor, dan kali ini kami mencoba menyaksikan pertandingan adu banteng
yang sangat terkenal itu di Las Ventas. Arena ini dibangun pada tahun
1923. Satu abad lebih bangunan arena ini, tetapi masih kokoh. Selain
dapat menyaksikan pertandingan El Matador, kami juga tidak melewatkan
untuk berkeliling melihat peninggalan-peninggalan sejarah adu banteng
zaman dulu seperti lukisan, patung, perlengkapan adu banteng dan
hingga ke baju-baju matador.
Aku
mencintai Shelly, dia adalah wanita pertama yang mampu menggetarkan
hatiku. Apa pun akan aku lakukan untuk menjaga senyum yang begitu
menawan. Dan hari ini, aku akan menemuinya. Aku mengirim pesan pada
dia. Sepulang dari kerja aku segera menuju Parque del Buen Retiro.
Aku menunggu dia di tempat ini, tapi Shelly tak kunjung datang juga.
“Mungkin
dia masih ada pemotretan.” Ucapku dalam hati. Aku menunggunya
hingga malam datang. Aku masih menunggu, hingga aku melihat dia,
tetapi dia tidak melihatku. Aku menghampirinya.
“Luis,
benarkah apa yang kau ucapkan?”
“Shelly,
apa kau tidak bisa memahamiku sedikitpun? Kita sudah menjalin
hubungan lebih dari dua tahun dan kau masih belum bisa mengerti
tentang keadaanku?”
“Luis,
kau menghilang tanpa kabar! Sembilan bulan aku menunggumu. Sembilan
bulan aku mengirimmu pesan tapi tak ada satu jawaban darimu.
Berkali-kali aku menelponmu, tapi kau terus merejectnya. Aku menunggu
hingga hatiku lelah. Aku menunggumu hingga aku tidak tahu arah lagi
ke mana aku harus berjalan. Aku menunggumu hingga hampir habis air
mataku.”
“Tapi
sekarang tidak akan terjadi lagi. Aku tidak akan pergi lagi. No
Amsterdam, No London, and no other place without you. Aku
mencintaimu, Shelly.”
“Aku
tidak mencintaimu lagi!”
“Kau
bohong, Shelly!” laki-laki itu memegang bahu Shelly dan menatap
matanya dalam. Shelly menitihkan air matanya. Laki-laki itu menarik
tangan Shelly dan memeluknya erat.
(Sumber : Google Image) |
Aku
masih berdiri memandang mereka berdua dengan jarak yang cukup dekat.
Mereka tak pernah menyadari aku sudah hadir di situ. Cincin yang akan
kuberikan pada Shelly jatuh begitu saja. Mungkin terbawa angin, aku
sendiri menatap ke bawah tak melihat cincin itu lagi. Aku tertunduk
lesu. Aku merasa hancur dan terkhianati. Segala kesal, amarah, emosi
dan kecewa telah menyatu dalam jiwaku. Kaki bergetar, aku tak bisa
bergerak lagi. Aku tak bisa beranjak pergi meninggalkan mereka.
Shelly
melepaskan pelukannya, tanpa sengaja dia melihatku yang ada di
seberang samping kiri mereka. “Andre,” katanya. Mereka berdua
akhirnya menatap kepadaku.
“Siapa
dia?” tanya laki-laki itu.
“Dia
Andre,” jawab Shelly.
Mereka
berdua menghampiriku. Aku semakin tidak tahu harus bagaimana. Rasaku
kini menjadi benci. Aku benci dengan mereka. Aku mencoba tetap tenang
meski sesungguhnya badanku ini sudah bergetar, kakiku sudah tidak
sanggup untuk menopang badanku lagi. Rasanya sudah hilang semua akal
sehatku.
“Shelly,
siapa dia?” tanya Luis ke Shelly.
“Dia
Andre.”
“Well,
terserah kalian. Selesaikanlah yang belum selesai di antara kalian.”
Ucap Luis ke Shelly.
“Tidak
ada yang perlu diselesaikan di antara kami. Aku dan Shelly tidak ada
apa-apa. Kami hanya rekan kerja.” Ucapanku bertentangan dengan
hatiku. Mataku masih sanggup untuk melihat, tapi jantungku telah
tertancap pisau, hatiku telah merintih menahan kesakitan.
Shelly
tak sanggup berakata lagi. Bibirnya bergetar ingin mengatakan
sesuatu, tapi lagi-lagi dia hanya mampu menggigit bibirnya. Dia
berada di dalam posisi yang sangat sulit dan membingungkan. Iya, aku
tahu itu dari matanya yang begitu banyak menyimpan rahasia. Tapi ini
keputusanku. Mungkin ini lebih baik.
“Luis,
beri aku waktu dengan dia untuk berbicara sebentar.” Pinta Shelly
ke Luis.
“Okay,
fine,” Luis segera meninggalkan kami.
Aku
masih berdiri dengan badan yang lemas, aku merasa tulang-tulangku
sudah tidak ada lagi. Serasa jiwa ini sudah tidak pada raga lagi.
Sungguh aku ingin menangis, tapi air mata ini tak bisa menetes
sedikit pun. Aku ingin menjerit dan berteriak.
“Andre,”
ucap Shelly membuka pembicaraan.
“Ada
apa? Semuanya sudah jelas, tidak ada yang perlu dijelaskan lagi.”
Kataku.
“Maafkan
aku, Andre. Aku sungguh tidak mengerti. Aku tidak pernah niat untuk
menyakitimu. Tidak, Andre. Aku tahu kamu sangat baik, aku tidak ada
niat sedikit pun untuk melukaimu.”
“Tapi,
pada kenyataannya, kau menyakitiku. Pada kenyataannya aku terluka.
Pada kenyataannya aku hancur!” tangkasku dengan amarah yang masih
mencekam di leherku.
“Andre,
maafkan aku. Aku tidak pernah menyangka kalau akan seperti ini.
Sungguh aku tidak pernah menyangka. Aku kira Luis tidak akan pernah
kembali, maka dari itu, saat kau mengungkapkan semuanya padaku, aku
menerimanya. Maafkan aku, Andre, Maaf.”
“Tidak
usah kau sebut nama dia di depanku.” Aku membenci Luis dan Shelly
saat itu juga. “Lalu, selama ini kau anggap aku ini apa, Shelly?!
Apa aku ini hanya tempat persinggahan di saat cintamu menghilang, dan
kau datang padaku untuk aku sembukan? Dan saat dia kembali kau
meninggalkanku begitu saja? Berjuta kata maaf yang kau ucapkan itu,
tidak akan mampu mengobati luka hatiku, Shelly!”
“Iya,
semua ini memang salahku. Tapi, percayalah rasaku padamu itu bukan
main-main, Andre. Selama ini kita lewati bersama, selama ini
melakukan banyak hal bersama. Itu juga tidak akan mudah bagiku untuk
melupakan semuanya, Ndre. Namun, aku harus kembali kepada dia, aku
harus memilih di antara kalian. Maafkan aku, bukan maksudku untuk
menyakitimu. Tapi, aku harus kembali padanya.”
“Pergilah,
pergilah ke mana yang kau mau, karena sebesar dan setulus apa pun
cintamu padaku, kau akan tetap memilih dirinya. Aku hanyalah tempat
persinggahanmu! Kembalilah pada dia, biarkan aku sendiri, biarkan aku
hilang dari ingatanmu, dan kamu hilang dari ingatanku.” Aku sudah
tidak sanggup untuk berdiri. Aku tidak mau melihat Shelly lagi. Dan
akhirnya pun dia pergi dengan air matanya. Sedangkan aku masih tetap
berdiri memandangnya pergi dengan pria lain. Perlahan mereka hilang
dari pandanganku. Aku terjatuh, kakiku sudah sangat lemas, aku sampai
dibantu untuk duduk di sebuah kursi oleh seseorang.
Rasanya
sakit sekali yang kurasakan. Terlalu sadis apa yang telah Shelly
lakukan padaku. Dia lebih memilih kembali dengan orang yang telah
membuatnya menitihkan air mata, dan meninggalkanku yang selalu
berusaha untuk menghapus air matanya.
Aku
mencoba berjalan untuk pulang, aku terhuyung-huyung seperti orang
yang sedang mabok. Aku berjalan setengah menyeret kakiku. Setiap ada
tiang lampu jalan, aku berhenti untuk bersandar. Aku tidak sanggup
lagi. Aku ingin menangis, tetapi Tuhan tidak mengizinkan untuk
menitihkan air mata. Aku telah tersingkir dari percintaan ini, aku
telah dipecundangi dalam hal cinta. Aku telah menghancurkan hatiku
sendiri karena cinta, bahkan hingga jiwaku ini ikut merasakan
sayatan-sayatan lukanya.
Satu
minggu aku tidak masuk kerja. Aku mencoba mengobati luka ini, tetapi
tetap saja sukar untuk melupakan Shelly. Senyumnya masih terus
terkenang di mataku, dan ketika itu terjadi, seketika itu hati
teriris kembali. Mama mencoba menguatkanku, mengajakku berjalan-jalan
sampai mengajak ke Barcelona, tetapi tetap saja, senyumku adalah
senyum palsu. Dadaku terasa sesak seperti terhempas ke ruang hampa
yang penuh kegelapan.
Setelah
aku kembali bekerja, aku mendapat kabar bahwa Shelly tidak bekerja
lagi menjadi model, dia sudah melepaskan kontrak kerja dengan majalah
di sini. Dalam pikiranku, aku merasa senang dia ada lagi di sini. Aku
senang tidak akan melihat dia lagi di sini. Karena aku juga tidak mau
melihatnya. Aku sudah sangat membencinya. Tapi, hati selalu berkata
lain, hatiku selalu mencarinya di mana dia, sedang apa, bagaimana
kabarnya, apa yang dia lakukan hari ini? Hatiku terus bertanya-tanya
tentang dia, inilah yang membuatku semakin tersiksa ketika akal sehat
dan hatiku tidak sejalan. Aku seperti orang yang setengah gila
meratapi semua kesedihan yang tak berujung.
Post a Comment for "Romansa Cinta di Tanah España - Part 8"
Terima kasih telah membaca postingan pada blog saya. Silakan tinggalkan komentar, dimohon jangan menggunakan link hidup.
Terima kasih.
:) :)