Romansa Cinta di Tanah España - Part 10
Part sebelumnya...
Aku
melihat laptopku tergeletak begitu saja di kardus. Belum pernah aku
membukanya sejak mama masuk ke rumah sakit. Hari ini ada sesuatu
getaran yang membuatku untuk membuka laptop tersebut. Seperti
sebelumnya, ketika membuka perangkat ini, tentu ingin berjelajah di
dunia maya, takterkecuali e-mail. Ternyata, banyak sekali yang
mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya orang tuaku. Satu per
satu pun aku membaca semua e-mail itu tak terkecuali.
--
Dear
Andre,
Semoga
kau selalu dalam lindungan Tuhan. Andre, aku turut berduka atas
meninggalnya orang tua kamu. Maaf, aku tidak bisa datang, kalau pun
aku datang itu pasti akan membuatmu semakin terluka. Aku juga sengaja
memilih mengirim e-mail ini agar kau bisa membacanya meski entah
kapan. Andre, saat aku datang ke rumah sakit saat itu, aku sebenarnya
ingin mengatakan bahwa aku telah salah memilih. Luis telah pergi
meninggalkan aku lagi. Saat itu aku ingin meminta maaf karena telah
melukaimu, meski aku tahu aku tak kan mungkin mendapatkan maaf
darimu.
Andre,
jaga dirimu baik-baik di Indonesia. Aku juga merindukan kota
kelahiranku, tapi belum saatnya aku kembali. Aku sendiri sudah tidak
di Spanyol lagi. Aku pergi, mencoba merangkai semua yang telah
kulalui, mencoba mencabut duri yang telah menancap di hatiku.
Andre,
aku sangat menyesal telah membuatmu kecewa. Aku tahu permintaan
maafku tidak mungkin kau terima. Tapi setidaknya aku telah mencoba
meminta maaf padamu, dan sesungguhnya aku sangat mencintaimu.
Hari-hari tanpamu itu seperti berjalan di atas padang pasir. Gersang
tiada air, tiada pepohonan yang menyejukkan hati.
Mungkin
di kehidupan ini aku tidak bisa memilikimu, tapi aku selalu berdoa
kepada Tuhan, semoga aku bisa memilikimu di kehidupan yang lain. Aku
akan menunggumu di kehidupan di mana tidak ada lagi jarak yang mampu
memisahkan kita. Di mana aku bisa membuatmu kembali tersenyum
bahagia, seperti dulu kau selalu berusaha membuatku tersenyum.
Kini
kutelah tinggalkan semuanya. Aku membiarkan diri ini terbawa angin
menuju kedamaian abadi. Di mana tidak ada sakit yang bisa aku rasakan
lagi. Karena sesungguhnya aku pun tak sanggup hidup tanpa dirimu.
Regards,
Shelly.
--
Tanpa
kusadari, tetesan air mataku kian deras. Apa yang telah kulakukan
pada dia, menutup pintu maafnya. Tuhan saja selalu memaafkan. Apa
yang telah aku katakan pada dia, saat itu tutur kataku begitu
mengiris hatinya. Penyesalan itu datang menghantuiku. Aku ingin
meminta maaf padanya, kucoba balas email dari dia, tapi sayang akun
emailnya tidak bisa menerima balasan dariku, entah sudah tidak aktif
atau pun apa, aku tidak tahu. Aku hanya bisa berdoa, semoga memang
benar di kehidupan lain aku bisa memiliki dan takkan kulepaskan dia,
apa pun rintangannya.
***
Setahun
sudah kepergian orang tuaku. Semangatku mulai kembali lagi untuk
melakukan berbagai hal. Aku tidak mengurung diri lagi di kamar
seperti beberapa bulan yang lalu. Aku sudah bisa bersosialisasi
dengan beberapa orang dan mulai bekerja.
“Tunggu!
Aku akan berangkat.” Seruku di bandara Soekarno Hatta. Aku mengejar
bosku yang akan segera berangkat.
“Andre,”
katanya.
“Iya,
Pak, saya akan berangkat.” Ucapku.
“Okay,
good idea. Karena Bapak harus ke Surabaya, besok anakku akan
wisuda.”
Akhirnya
aku yang akan melaksanakan tugas ini.
Setelah
puluhan jam di penerbangan, aku sampai di tujuanku. Rasa lelah
memaksaku untuk melepaskan persendian tubuh di dalam kamar. Aku
mempersiapkan diri untuk esok hari yang akan padat dengan jadwal
pekerjaan.
Aku
terbangun saat matahari sudah tenggelam, kini berganti rembulan yang
menyinarinya. Kulihat dari jendela kamarku, suasana yang ramai,
tergodaku untuk keluar. Berjalan-jalan menghirup udara malam untuk
menyesuaikan badan dengan suhu di sini. Aku memandangi semua yang ada
di sini. Begitu detail aku memandanginya, hingga semua sudut-sudut
kecil tak ada yang terlewat, wajah-wajah orang yang berlalu lalang
pun aku menghafalnya. Seperti anak sekolah yang sedang menghafal
materi pelajarannya.
“Mau
coklat panas?” aku menawarkan coklat panas kesukaan kepada
seseorang yang akan membeli minuman itu, tetapi sudah habis. Dia
menoleh padaku, dan berkata, “Andre? Kau? Benarkah kau?” Dia
tidak percaya aku di hadapannya saat ini.
“Iya,
aku kembali, Shelly.”
Rasa
canggung dan suasana beku pun kembali menyapa kami.
“Kapan
kau kembali di sini?” tanyaku, berusaha untuk mencairkan suasana
yang hening.
“Aku
baru pulang dari Mancester sore tadi.” Katanya.
“Begitu
pula denganku. Aku juga baru sampai di Madrid sore tadi.”
Kami
tersenyum kecil, saling menanyakan kabar. Tak lupa juga aku meminta
maaf, yang akhirnya membuat lega dalam hati.
Aku
meninggalkan Shelly sebentar di taman, aku pergi untuk membeli
sesuatu. Beruntunglah diriku karena di sini semua toko buka sampai
malam hari. Setelah aku membelinya, aku segera kembali kepada Shelly.
“Shelly,
maukah kau menikah denganku?” aku langsung mengatakannya, karena
aku tidak ingin kehilangan kesempatan lagi. “Aku tidak mau jawaban
‘tidak’ darimu,” imbuhku.
“Kau
memaksaku?” ungkapnya dengan bercanda.
“Iya,
tentu.”
“Sejak
kapan kau menjadi pemaksa seperti ini?”
“Sejak
aku mencintaimu, tapi aku kehilangan, sejak saat itulah aku memaksa
diriku untuk memilikimu untuk mengobati luka-luka ini.”
“Andre...”
Aku
memakaikan cincin yang baru saja kubeli ke jari manis kiri Shelly.
Dengan iringan musik yang sama seperti dulu. Kupenuhi janjiku di
sini, di tempat ini, di Parque del Buen Retiro. Tempat di mana
romansa cintaku dengan Shelly penuh warna. Tempat di mana menjadi
saksi bisu aku mengungkapan semua isi hati, tempat di mana aku
terjatuh karena kehilangan, dan tempat di mana aku menemukan kembali
cintaku yang telah hilang. Dan inilah kehidupan kami yang lain. Tuhan
telah mendengar dan menjawab doa kami. Kami dipertemukan kembali di
kehidupan baru setelah berpisah beberapa waktu.
Kehidupan
lain ini adalah bentuk dari metamorfosis cara pikir dan cara pandang
kami tentang cinta. Kami telah terluka dan menangis seperti hujan
yang turun. Tuhan telah membuat kami sadar, bahwa luka hati yang kami
alami, hanya mampu diobati oleh orang yang melukai hati ini juga.
Dengan anugerah-Nya, Tuhan memberi kehidupan lagi padaku untuk
bertemu kembali dengan dia yang kucintai. Di kesempatan inilah, kita
harus saling menghilangkan ego, karena sesungguhnya yang menyakiti
hati kita adalah rasa egoisme dalam diri ini.
Sebulan
kemudian, tepat di hari ulang tahunku yang ketiga puluh, aku dengan
Shelly menikah, resespi kita adakan di Espania Resto. Kami mengucap
ikrar yang sakral untuk setia sehidup semati. Kami pernah terpisah
dan begitu menyengsarakan hati, maka dari itu janji ini tidak akan
menyakiti satu sama lain, karena sesungguhnya menyakiti pasangan sama
halnya menyakiti diri sendiri. Begitulah cinta, dia yang terluka
namun hati ini yang teriris. Semoga cinta ini terus bersemi dalam
naungan Tuhan.
***TAMAT***
andre selly ayo pada ming ndi
ReplyDelete