Sekolah untuk Pengamen
SEKOLAH UNTUK PENGAMEN
Oleh : Ery Udya
Indonesia, terlintas dalam
benak tentang negeri ini. Negeri yang sudah mulai berumur, namun
semua harapan rakyat belum terpenuhi semua. Negeri ini sebenarnya
indah dipandang dan dihuni. Orang-orangnya yang ramah, hidup damai
meski berbeda-beda. Di sini bisa dikatakan sebagai surganya duniawi.
Di Indonesia begitu komplit akan hal-hal yang unik dan menarik.
Tak mengherankan jika banyak
wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia. Selain menikmati
pemadangan wisata alam yang menakjubkan, mereka juga menikmati
kudapan khas nusantara yang begitu lezat dan membuat enggan untuk
beranjak pergi dari meja makan sebelum makanan habis. Ya, Indonesia,
gudangnya kuliner. Dari Sabang hingga ke Merauke semua tempat
menyajikan hidangan khas yang unik nan menggoyang lidah.
Itu hal yang membanggakan
dari Indonesia, tetapi di negeri ini juga begitu banyak polemik yang
masih saja belum selesai. Kemiskinan, kelaparan, kesehatan tidak
baik, moral yang kian hari kian menghilang, bahkan nilai-nilai luhur
budaya bangsa ini sudah banyak yang tidak mengenalnya.
Anak-anak jalanan semakin
hari semakin merajalela. Tak sedikit dari mereka yang rela melakukan
tindakan kriminal di jalan.
“Copet...!” teriak
seorang perempuan, dia bingung harus melakukan apa, karena tas yang
dibawanya tiba-tiba berpindah tangan dan dibawa lari oleh seorang
anak laki-laki yang berusia sekitar tujuh belas tahun.
Orang-orang di jalan itu
berlalu lalang, sebuah keributan yang menimbulkan makin hiruk
pikuknya kota besar. Sebagian mendatangi perempuan itu, dan
sebagiannya mencoba mengejar pembawa tas milik perempuan itu. Namun,
anak muda itu begitu cepat dia berlari. Seperti sudah terbiasa dan
terlatih lari dan dikejar orang.
Perempuan itu kesal dan
kecewa karena di tas itu terdapat sejumlah uang, ponsel, kartu
identitas, dan beberapa hal yang penting miliknya. Karena orang
yang mengejar anak itu tak sanggup untuk
mengejar pencopetnya,
akhirnya perempuan itu
memutuskan untuk pergi
meninggalkan keramaian kota. Selanjutnya
dia mengurusi beberapa kartu penting
yang dibawa
pencopet.
***
“Aryo! Uang dari mana,
ini?!” tanya seorang wanita yang berusia empat puluh tahunan itu.
Nada pertanyaan itu sedikit keras dan penuh dengan kecurigaan.
“Tadi ngamen di sepanjang
jalan.” Jawab anaknya.
“Aryo, jangan bohong sama
Ibu!” ibu itu memaksa agar anaknya jujur dan mengembalikan sejumlah
uang yang cukup banyak kepada anaknya. Anaknya masih terdiam, dia
tidak ada jawaban atas pertanyaan ibunya.
“Aryo, Aryo nyopet, Bu
...” jawabnya terbata-bata dan merasa ketakutan.
“Astaghfirullohal’adziim!
Aryo, apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu sampai bertindak seperti
itu? Itu tidak baik, Aryo. Itu dosa!”
“Dosa? Lebih dosa manakah
seorang yang mencopet dengan para koruptor, Bu? Mereka memakan uang
rakyat begitu saja, kenapa mereka bisa tersenyum di layar televisi?
Lebih dosa mana, Bu? Aku yang mengambil uang milik orang lain, atau
mereka yang telah menelantarkan kita?”
“Aryo! Apa pun bentuk
kejahatan dan mengambil yang bukan hak milik, itu adalah dosa!”
tegas ibunya.
Aryo terdiam dan keluar dari
ruang rumah. Dia duduk di teras rumah. Ya, rumah yang sederhana semi
permanen dengan dinding kayu yang mulai berlubang. Aryo terdiam, dia
memang merasa bersalah, tapi apa yang harus dia lakukan lagi? Selama
ini dia mengamen untuk membantu ibunya yang berjualan pisang
goreng. Selama ini dia sudah mencoba untuk
mencari uang yang baik dan tetap. Akan tetapi, lagi-lagi kembali ke
nasibnya. Dia hanya lulusan SMP, sedangkan pesaing-pesaingnya
sekarang tingkat pendidikannya lebih tinggi. Tentu saja Aryo
tersingkir,
secara otomatis menjadi anak jalanan.
Aryo merasa bersalah kepada
ibunya. Dia pergi dari rumah untuk mengamen di jalanan. Masih
terpikirkan apa kalimat ibunya, bahwa mengambil apa pun yang bukan
hak milik, itu adalah dosa. Aryo ingin mengembalikan tas milik
perempuan yang telah dia copet, tapi dia tidak tahu harus kemana dia
mengembalikannya.
Matahari telah bergelincir
menuju ufuk barat. Senja mulai menyapa. Aryo bergegas pulang dengan
membawa hasil mengamen yang tak seberapa.
“Bu, Aryo boleh minta
sesuatu?” tanyanya.
“Ya,” ibunya masih
sedikit jengkel karena anaknya tadi mencopet.
“Tapi janji, Ibu jangan
marah.”
“Memang apa yang kamu
minta, Aryo? Sampai-sampai Ibu harus berjanji tidak boleh marah?”
“Aryo ingin melanjutkan
sekolah, Bu. Aryo capek sering dihina orang karena mengamen. Aryo
ingin melanjutkan sekolah agar bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih
baik, Bu.”
Sekolah lagi? Apa yang harus
dijawab oleh seorang ibu yang yang hanya sebagai penjual pisang
goreng? Sedangkan suaminya telah pergi
meninggalkannya bertahun-tahun dan tak pernah kembali. Di sisi lain
ibunya senang mendengarkan keinginan anaknya, di satu sisi, dari mana
biayanya? Tapi, ibunya tak ingin Aryo kecewa. Ia pun mengangguk tanda
setuju anaknya untuk meneruskan sekolah.
***
Hari
penerimaan murid baru pun tiba, Aryo mencoba mendaftarkan diri ke
sekolah, namun pihak sekolah menolaknya dengan alasan Aryo seorang
pengamen, anak jalanan. Aryo mencoba mencari sekolah yang mau
menerima dirinya, tetapi tetap nihil, semua sekolah menolaknya. Ia
pun tertunduk lesu, dalam benaknya bertanya-tanya, “Apakah
seorang pengamen tidak berhak untuk mengenyam pendidikan? Apakah
hanya mereka-mereka yang kaya yang berhak sekolah? Bukankah
pendidikan itu hak dari setiap warga di negara ini? Kenapa seperti
ini? Apakah ini adil untukku?”
Aryo pulang ke rumah dengan
wajah yang tertunduk lesu. Tanpa menanyakan apa yang terjadi, ibunya
sudah tahu. Ibunya memang sudah mengira, anaknya akan sulit untuk
diterima untuk melanjutkan sekolah.
“Aryo, makan dulu, Ibu
sudah masak untukmu.” Ucapnya mencoba menghibur hati Aryo.
Aryo mengangguk tanda
setuju. Di wajahnya masih tersimpan kesedihan dan kekecewaan, tapi
dia menyembunyikannya. Dia tidak ingin ibunya sedih. Dia hanya
berharap, semoga saja ada jalan keluar agar dia bisa diterima
sekolah. Untuk menghibur, ibunya meminta Aryo menjajakan pisang
goreng yang sudah siap untuk dijual.
“Pisang goreng, pisang
goreng ....” Aryo mengeraskan suaranya menjajakan pisang goreng di
tengah hiruk pikuknya kota. Silih berganti pembeli menghampiri Aryo.
“Dek, pisang greongnya
masih?” tanya seorang wanita muda ke Aryo.
“Masih, Kak. Kakak mau
beli? Silakan.” Aryo menawarkan.
Aryo tidak asing dengan
wajah perempuan itu. Seketika tubuh Aryo bergemetar dan wajahnya
pucat.
“Kamu kenapa, Dek? Sakit?”
tanya perempuan itu.
“Kakak, saya minta maaf.”
Jawabnya.
“Maaf? Untuk apa?”
perempuan itu bingung.
“Maaf, sekali lagi Aryo
minta maaf. Aryo sudah mencopet tas Kakak. Tapi, Aryo tidak memakai
uang Kakak. Tas Kakak masih utuh. Aryo akan mengembalikannya.”
Dengan bibir yang bergetar Aryo menjelaskannya. Dia ketakutan.
Sungguh takut.
Perempuan itu ingin sekali
marah, tapi melihat kondisi Aryo dan sikap kejujurannya, dia pun
tersenyum. Aryo mengajak perempuan itu ke rumahnya. Aryo
mengembalikan tas dan seisinya ke perempuan itu. Perempuan yang belum
diketahui namanya itu merasa iba melihat keadaan Aryo dan ibunya. Dia
bertanya-tanya beberapa hal ke Aryo.
Aryo menceritakan semuanya,
termasuk juga tentang keinginannya untuk bersekolah.
“Jika Aryo mau,, Aryo bisa
bersekolah di sekolah alam
milik Kakak. Tempatnya tidak jauh dari sini.” Ujarnya.
“Benarkah itu? Pengamen
jalanan seperti Aryo bisa sekolah? Lalu bagaimana dengan biayanya,
Kak?”
“Tentu saja bisa. Semua
orag bisa bersekolah. Dari mana pun asalnya, semua orang berhak
mendapatkan pendidikan yang layak. Untuk biaya tidak usah khawatir,
sekolah alam ini gratis bagi siapa pun yang berminat. Dan, ini
alamatnya.” Perempuan itu meninggalkan kartu nama.
Sesuai yang tertulis di
kartu namanya. Nama perempuan itu Arina. Aryo dan ibunya sangat
bersyukur bisa bertemu dengan perempuan seperti dia.
Di saat negeri ini mulai
kehilangan saling gotong royong dan saling membantu, Tuhan masih
menitipkan malaikat-malaikat yang begitu baik untuk membantu negeri
ini. Apa pun yang terjadi, nilai luhur bangsa itu tidak akan pernah
hilang. Inilah ciri bangsa Indonesia, selalu ada keramahan dan saling
membantu bagi sesama. Inilah Indonesiaku, selalu ada kebaikan di
tengah-tengah kekacauan bangsa.
***TAMAT***
Ceritanya bikin saya terenyuh dan saya senang karena ending storynya sesuai dengan yang saya harapkan, akan ada orang baik yang menawarkan bantuan pada Aryo agar bisa sekolah lagi
ReplyDeleteIde-ide liar menggelinjang di kepala saya membayangkan lanjutan ceritanya.
ReplyDeleteAryo yang kemudian mengambil papan tulis, kapur, dan bangku sekolah itu lalu menggadaikannya ke pemulung yang sedang dikejar setoran.
Atau Aryo ketika besar menjadi kepala desa, lalu menjual tanah sekolah alam itu kepada cukong kelapa sawit. :))
Selalu saja ada rezeki yang datang disaat yang tidak terduga, yang terpenting ada keberanian untuk mengungkapkan sesuatu dan jujur pada diri sendiri. Keren untuk aryo yang mau mengakui kesalahan yang ia perbuat kepada orangnya langsung.
ReplyDeleteAku bacanya kok terharu banget ya, padahal cuma cerpen. Jadi ingat, ada teman sekolah anakku yang masuk SD swasta yang dimana sppnya lumayan mahal padahal ayahnya cuma bekerja sebagai ojek online, pendapatan tidak tetap. Akhirnya tahun ke-2 dia pindah sekolah. Syukurlah di sekolah negri di Tangerang SPPnya gratis dan tidak memandang apakah dia anak jalanan, pengamen atau apapun.
ReplyDeleteSalah satu tantangan kepada pemilik sekolah gratis untuk anjal, pengamen, atau anak putus sekolah lainnya adalah biasanya konflik dengan orangtua yang menyuruh anaknya bekerja untuk membantu mencari nafkah daripada sekolah. Sedih ya..
Wah miris kalau mau sekolah ditolak karena profesi pengamen. Semoga lebih banyak orang seperti kakak yang punya sekolah alam ini
ReplyDeleteDi antara gedung-gedung pencakar langit Jakarta dan kota besar lainnya, permasalahan anak-anak yang gak mampu untuk melanjutkan sekolah masih saja ada. Untungnya masih ada orang baik yang peduli dan memberi kesempatan pada anak-anak tersebut untuk tetap bisa belajar dan maju.
ReplyDeleteDuh, menyentuh hati banget baca ini. Bisa saja Arina marah ya, tapi karena melihat kejujuran Aryo, jadinya malah jadi rejeki Aryo untuk melanjutkan sekolah. Warga bantu warga, seperti yang sering dilihat di twitter :')
ReplyDeleteAlhamdulillah akhirnya keinginan Aryo untuk sekolah bisa tercapai. Nice story, Mbak
ReplyDelete