Cinta Di Bawah Seribu Lampion
Cinta Di Bawah Seribu Lampion
Oleh : Ery Udya
Pertama kali bekerja di Jakarta, aku
dekat dengan programmer yang bernama Deden atau Cahya – nama
Indonesia. Keakraban kita membuatku menikmati pengalaman baru. Pada
saat perayaan Imlek, dia mengajak ke Kampung China di Cibubur. Aku
terpesona melihat keaneka ragaman budaya di sini. Merasa diri ini
memang sedang benar-benar di negeri Tiongkok. Dari pesta kembang api,
pentas barongsai dan berjuta lampion yang tegantung memaksa mataku
untuk tidak berkedip. Indahnya – pikirku.
Sejak saat itulah, sering mengisi hari
libur bersama. Cahya mengenalkan budaya Tiongkok dengan jelas. Namun,
ada yang tidak menyukai pertemanan kita. Beberapa teman wanita di
kantor cemburu padaku karena dekat dengan Cahya. Bahkan Andriana
sampai mengancam jika aku tetap dekat denganya. Aku mulai bimbang,
apa yang harus aku lakukan? Jujur padanya kalau aku jatuh hati? Atau
aku mengalah demi temanku, Andriana.
Akhirnya kubuat keputusan untuk
menghindarinya. Hingga suatu sore di jam pulang kerja, tiba-tiba dia
masuk ke ruangan dan menggenggam erat tanganku.
“Aku mencintaimu, Reva...” dari sorot
matanya yang dalam, aku yakin dia tidak berbohong. “Aku ingin kau
datang di pesta lampion minggu depan untuk merayakan ulang tahunku.”
Begitu jelas katanya, membuat bibirku tak bisa berkata lagi.
Kucoba lepas genggaman tangannya yang
erat, “Aku tidak bisa!” kataku tegas.
“Kenapa, Reva? Apakah kau tidak
merasakan hal yang sama denganku, Rev? Aku sangat mencintaimu,”
“Tidak, aku tidak pernah mencintaimu,
aku hanya menganggapmu sebagai teman. Untuk itu, saat ini, jangan
libatkan aku dalam segala urusanmu.” Aku segera berlari
meninggalkannya. Hatiku hancur sendiri, harus mengatakan sesuatu yang
menyakitinya.
***
Baca juga: Terjebak Perangkap Cinta Palsu
Malam ini tiba, dimana Cahya akan
berpesta di Kampung China dengan bertabur lampion yang indah. Tapi
aku masih terdiam di kamar kost. Sendirian menghabiskan tisu untuk
menghapus air mata yang tak bisa berhenti mengalir. Namun, tiba-tiba
teringat dengan sebuah kata sahabat lamaku, “Kalau cinta untuk apa
harus menghindar, yang terpenting dalam sebuah hubungan adalah
kejujuran. Jika cinta katakan cinta, jika tidak pun katakan tidak.”
Tanpa pikir, kuberlari dari kamar kost,
mencari kendaraan umum. Berkali-kali naik kendaraan menuju ke Kampung
China, yang harus memaksaku seperti orang hilang ketika sampai di
pintu Gerbang Kampung China, sudah terlihat sepi. Malam sudah
menguntai menuju dini hari. Aku berharap Cahya masih ada dan belum
menjadi milik Andriana. Aku setengah berlari dan berteriak
memanggil-manggilnya, “Cahyaaaaa... Cahyaaa...”
Orang gila, ya, seperti orang gila yang
teriak-teriak di tengah malam. Masih ada beberapa pengunjung yang
melihatku dengan tatapan sinis. Apalah itu, aku cuek dengan mereka,
karena mereka tidak tahu dengan nasib cintaku. Kuberlari di bawah
ribuan lampion merah. Menyusuri lorong-lorong kampung ini, hampir
setiap sudut kucari sesosok pria tampan itu, namun tidak ada. Hingga
kupasrah, duduk termenung di tengah altar yang ketika siang menjadi
pusat permainan barangsai.
Kaki sudah pegal dan napas pun
terengah-engah. Entah mengapa aku begitu bodoh sampai berlari seperti
ini. Ah, entahlah, cinta ini membuatku hilang kewarasan.
“Apa kau mencari seseorang?” aku
mengenal suara itu dan membuatku tersenyum.
“Cahya..?”
Dia hanya mengangguk.
“Kau belum pulang?” tanyaku dan
bangkit dari kelelahan.
“Aku tahu kau akan datang, karena kau
hanya untukku,” katanya dan berlari untuk mendekapku.
***TAMAT***
ngeri ngeri sedap
ReplyDelete