Mimpi Yang Tertunda
Mimpi Yang Tertunda
Oleh : Eri Udiyawati
Tak terasa sudah, delapan
semester aku tekuni di
universitas dan lulus menjadi sarjana
ekonomi dengan predikit sangat memuaskan.
Setelahnya angsung diterima kerja di sebuah lembaga keuangan di ibu
kota. Gaji pertama, aku berikan semuanya untuk orang tua yang telah
membesarkanku. Aku merasa sangat bahagia dengan
kehidupan yang saat ini. Seperti sebuah kesempurnaan dalam hidup itu
telah didapatkan, karena
memang aku telah mendapatkan kebahagiaan duniawi yang hampir setiap
orang impikan.
Meski diri ini sudah
mendekati sempurna, tetapi aku belum merasa puas. Aku berencana
melanjutkan S2 di Inggris. Berusaha untuk bisa masuk ke fakultas
manajemen yang ternama di negeri itu. Entahlah mengapa aku harus
memimpikan hal itu. Jawaban selalu ada di otak ketika berdebat dengan
hati, karena aku ingin menjadi seorang yang
ahli dalam dunia bisnis dan maanjemen.
Tiga bulan setelah mendaftarkan
diri di universitas tersebut, namaku terpampang di websitenya. Segera
kuurus surat-surat agar aku bisa terbang ke negeri sepak bola itu.
Sore yang cerah dengan
suasana yang begitu menjengkelkan di jalanan ibu kota. Dengan
mengendarai mobil, aku terjebak macet. Rasa haus, lapar dan lelah
sudah menjangkiti. Kulihat dari kaca mobil, tiga orang anak yang
sedang mengetuk-ngetuk setiap pintu mobil yang berhenti. Mereka
berusia sekitar delapan sampai
tiga belas tahun. Mereka terlihat sangat
kusut dan kotor, pakaian mereka sungguh tidak layak.
Lampu lalu lintas masih
menunjukkan warna merah, tiga anak itu menghampiri mobilku.
“Sore, Kakak.
Maaf, kami mengganggu perjalanan Kakak,
kami mau menyanyi boleh ya, Kak?”
ucap anak laki-laki itu yang
mengenakan celana pendek warna hitam
dengan kaos putih yang sudah koyak.
“Iya, silakan.” Jawabku.
Mereka langsung menyanyikan
lagu yang saat ini sedang populer, setelah itu aku memberikan uang
kepada mereka pecahan lima puluh ribuan. Mereka berterima kasih
kepadaku dengan
berteriak, karena lampu lalu
lintas sudah hijau dan harus segera
melaju.
Dari sore itu, aku tidak
tahu entah mengapa aku sering mencari tahu mereka itu siapa. Setelah
pulang kerja, diam-diam mencari mereka. Aku terkejut
melihat tempat tinggal mereka yang sungguh jauh dari layak huni.
Nuraniku langsung terasa tercabik. Setiap hari aku merasakan
kemewahan, tetapi ada anak-anak yang makan saja masih kekurangan.
Sumber : google image |
Aku mendekati mereka, dan
berjanji akan membantunya, bagaimana pun caranya. Saat itu aku
bertekad untuk mengubah mereka agar bisa hidup dengan layak dan
nyaman. Sungguh tidak adil rasanya ketika aku bisa menikmati apa
saja, tetapi masih ada yang menikmati nasi satu
bungkus untuk bertiga.
Saat
pulang kerja, aku sempatkan untuk bertemu dengan mereka kembali. Aku
mendapati tiga anak
itu sedang menangis di pinggir jalan, aku berhenti dan
menghampirinya.
“Hei, selamat sore.”
Sapaku.
“Sore
juga, Kakak.” Jawab salah seorang anak.
“Kalian kenapa? Kenapa
menangis?” tanyaku.
“Kami belum makan, Kak.
Dan adik kami ini sedang sakit.” Ucap anak laki-laki
yang tertua
dari ketiganya.
“Sakit?
Kalian tenang ya, tapi Kakak boleh tahu
nama kalian siapa?”
“Namaku Subhan, kedua ini
adikku, namanya Safar dan Safira. Safira sedang sakit, Kak. Hari ini
kami mengamen, tetapi tidak cukup untuk membeli makan.” Jelasnya
dari anak yang tertua.
“Ya sudah, kalian ikut
Kakak saja
ya, yuk!” aku mengajak mereka untuk beristirahat di rumahku yang
sepi. Karena memang aku tinggal sendirian saja. Aku mencoba merawat
Safira yang sedang demam, beruntung panasnya segera turun. Dia hanya
kelelahan dan kelaparan sehingga kondisi kesehatannya menurun.
Kini mereka sudah menjadi bagian dari
hidupku. Mereka menjadi tanggungjawabku, apa pun akan ku lakukan
untuk menghidupi mereka.
Hari ini aku datang ke
kantor pusat informasi tentang kuliah di Inggris. Ya, ada beberapa
hal yang harus aku putuskan sebelum nasi menjadi bubur.
“Safitri, apa kau sudah
gila? Ribuan orang mengantri untuk mendapatkan kesempatan ini, dan
kamu akan mengundurkan diri begitu saja
setelah kamu berjuang selama ini?” ucap
pegawai di kantor itu, dia sedikit marah karena aku mengundurkan diri
dari program pendidikan S2 ke Inggris.
“Iya, maaf, saya tidak
bisa berangkat ke London dalam waktu dekat ini. Sekali lagi, maaf.”
“Apa yang membuat kamu
melakukan semua ini?”
“Saya harus mengurus
anak-anak yang tidak punya siapa-siapa lagi. Saya harus membuatkan
tempat tinggal yang layak untuk
mereka. Itu alasan saya kenapa saya tidak
bisa beragkat ke London dalam waktu dekat ini. Dan kalau memang tidak
bisa diundur, saya rela
melepaskan kesempatan untuk kuliah di London, meski sebenarnya itu
adalah mimpiku dari kecil.”
Ini adalah keputusan yang
sulit diterima bagi siapa saja. Tapi bagiku, ini adalah hal yang
terbaik. Untuk melanjutkan S2 aku bisa melanjutkan tahun depan lagi,
tapi untuk mengurus anak-anak yang terlantar, siapa lagi kalau bukan
kita? Saat ini mimpiku memang masih tertunda, tapi aku yakin, Tuhan
akan memberi jalan untukku agar aku bisa mewujudkan semua impianku.
Aku percaya itu, Tuhan selalu bersamaku dan selalu bersama dengan
orang-orang yang sabar dan senantiasa berusaha.
Dan kalau pun pada akhirnya nanti mimpiku tak terwujud pada diriku,
aku berharap, anak-anak yang sekarang tinggal bersamaku, di antara
salah satu mereka, bisa belajar di Eropa.
***TAMAT***
Post a Comment for "Mimpi Yang Tertunda"
Terima kasih telah membaca postingan pada blog saya. Silakan tinggalkan komentar, dimohon jangan menggunakan link hidup.
Terima kasih.
:) :)