Mungkinkah Hanya Sebatas Teman? - Part 1
MUNGKINKAH HANYA SEBATAS TEMAN?
Oleh : Eri Udiyawati
Hujan
masih deras mengguyur kota di pagi hari. Rasa malas menghampiri untuk
bangun tidur dan beraktivitas. Tak terkecuali Agung, dia masih
meringkuk dalam selimut tebalnya. Dia enggan masuk ke kantor. Ia
masih ingin menyambung tidur untuk bermimpi indah. Dia mencoba
menyadarkan diri bahwa dia harus bangun dan membuang rasa malas.
Huaahhh.... Bangun sudah siang..!
Mandi,
sarapan, dan cek beberapa dokumen penting perusahaan, setelah itu
Agung langsung pergi dengan motor gedenya menuju kantor. Beruntung
dia memiliki jabatan penting di kantornya, meski sudah telat 65 menit
tak ada yang berani menegurnya. Ucapan selamat pagi berderetan dari
staff-staff yang bekerja di kantor tersebut.
“Selamat
pag, Pak Agung.” Sapa salah seorang HRD kantor tersebut.
“Ya,
selamat pagi, Pak Yunus.” Balas Agung.
“Maaf,
Pak, saya bermaksud untuk menyerahkan beberapa berkas-berkas pelamar
kerja untuk menjadi asisten Bapak.” Terang pak Yunus ke Agung.
“Baik,
mari kita ke ruangan saya.”
Mereka
berdua langsung menuju ruang kerja Agung. Mereka langsung mengecek
dan mempelajari beberapa pelamar kerja yang sudah lolos seleksi tahap
awal (psikotest).
“Apakah
bapak sudah ada keputusan siapa yang akan diterima sebagai asisten
bapak?” tanya Pak Yunus.
“Hmmm,,,
“ Agung masih memilah-memilah berkas itu. “Menurut Bapak, yang
mana yang cocok untuk menjadi asisten saya? Tentunya dia harus
memiliki mental yang kuat dan pengalaman di dunia kerja.”
Lanjutnya.
“Kalau
dilihat dari pengalaman, ada dua orang yang cocok, mereka berdua
hasil testnya cukup bagus. Yang ini, Pak.” Pak Yunus menunjukan dua
berkas kandidat yang tepat sebagai asisten Agung.
“Prita..?
Coba yang ini, dilihat dari pengalaman kerja dan hasil testnya bagus.
Saya akan menjadikan dia sebagai asisten, jika dalam waktu seminggu
saja dia bisa beradaptasi dan bekerja dengan baik, saya akan
menjadikan karyawan tetap di perusahaan ini. Tetapi jika dia tidak
baik, maka pelamar yang satunya yang dipanggil untuk kerja di sini.”
Esok
harinya Prita mulai berangkat ke kantor. Dengan bekal pendidikan yang
mumpuni dan pengalaman kerja di tempat sebelumnya, Prita cukup elegan
untuk menjawab beberapa pertanyaan ketika diinterview langsung oleh
Agung. Dengan senang hati Agung menerima Prita sebagai asistennya.
Agung sangat yakin keputusan ini sangatlah tepat, bahwa Prita sangat
pantas untuk menjadi seorang Asisten General Manager.
Detik,
menit, jam, hari, minggu dan bulan telah berganti. Tak terasa Prita
sudah bekerja selama 6 bulan. Sebagai asisten general manager
tidaklah mudah, apalagi memiliki atasan seperti Agung, yang maunya
menang sendiri, terkadang dia tak mau tahu apa yang dilakukan Prita,
yang penting pekerjaannya selesai. Dengan hati yang kuat dan otak
yang cerdas, selama ini Prita tidak pernah menghadapi
rintangan-rintangan yang berarti. Dia juga menjadi banyak teman dari
semua kalangan, dari teman-teman sekantornya, teman di kantin
perusahaan, bahkan dari para klien pun mengenal Prita. Ya, Prita
merupakan perempuan yang cukup ulet, dia senyum dengan siapa saja,
tidak mudah marah. Dia seorang yang riang, tidak mudah tersinggung,
dan pokoknya Prita ini perempuan yang memiliki hati dan mental sekuat
baja.
Waktu
6 bulan, adalah waktu yang sangat cukup untuk saling mengenal satu
sama lain bagi siapa saja. Begitu juga dengan Agung dan Prita,
diantara keduanya sudah saling akrab, bahkan mereka saling meluangkan
waktu untuk bersama.
“Eh,
Prita, kenapa nama kamu Prita?” celetuk Agung bercanda di saat
mereka sedang makan siang di sebuah restaurant dekat kantor.
“Memang
kenapa dengan nama saya? Apakah ada masalah dengan nama saya?”
Prita membalasnya dengan candaan, dia tahu kalau atasannya itu sedang
mengajaknya untuk bercanda.
“Tidak,
tidak ada masalah dengan nama kamu, hanya saja nama kamu itu sangat
jelek untuk seorang asistenku,” balasnya sambil tertawa. Prita pun
membalasnya.
“Memang
yang bernama jelek itu hanya saya saja? Bapak namanya lebih jelek,
nama ‘Agung’ tapi orangnya kurus, kering hanya tinggi seperti
ini. Harusnya nama ‘Agung’ itu orangnya tinggi besar seperti
raksasa.” Mereka berdua pun tertawa menikmati canda tawanya.
Candaan
mereka begitu renyah dan nyaman. Bahkan, Agung meminta untuk berteman
dan memanggil nama saja ketika di luar kantor. Prita mengangguk tanda
ia menyetujui pertemanan itu. Agung mengulurkan tangan kanannya untuk
berjabat tangan dengan Prita. Mereka berjabat tangan sebagai tanda
bahwa mereka sudah berteman, menjadi sahabat.
Sejak
saat itulah, mereka berdua makin akrab. Di luar jam kerja mereka
menjadi teman. Mereka saling berbagi cerita, berkeluh-kesah, bahkan
keduanya saling curhat tentang pasangan yang mereka idam-idamkan.
Saking akrabnya, teman-teman kantornya mengira mereka berpacaran,
tapi dari keduanya membantah hal itu. Teman-teman kantor mengira
mereka berpacaran bukan karnea tidak alasan, tapi mereka sering
melihat Agung dan Prita sering meluangkan waktu bersama, di mana ada
Agung, di situ tentu saja ada Prita.
Tidak
jarang mereka menghabiskan waktu setelah jam kerja di taman dekat
kantor (tepatnya di belakang gedung kantor adalah taman kota, di
mana disitu bisa duduk-duduk bersantai menikmati sore).
“Eh,
Prita, ngomong-ngomong usia kamu berapa?” Entah dia pura-pura lupa
atau benar-benar lupa akan usia Prita.
“Lupa
dengan usiaku? Bukankah saat aku melamar kerja, aku menuliskan
biodata lengkapku, tentu saja disitu ada tanggal lahirku.” Jelas
Prita, dia sudah tahu kalau Agung itu berpura-pura tidak tahu.
“Aahh,
hanya seklias melihat biodatamu, aku hanya memperhatikan pendidikan
dan pengalaman kerjamu saja,” ucapnya sambil nyengir.
“Aku
masih 26 tahun. Apakah masalah dengan usiaku? Atau ingin mencari
asisten dengan usia yang lebih muda lagi?” Prita mulai menggodanya.
“Bukan
begitu, kamu dah 26 tahun kenapa gak ada pria yang mendekatimu? Kamu
punya pacar, gak? Jangan nanti aku yang disalahkan kalau kamu telat
nikah, nanti kamu jawabnya gara-gara sibuk di kantor jadi gak nemuin
jodoh.”
Hahahahaha..
pertanyaan yang membuat mati kutu Prita, ya wanita di Indonesia
dengan usia 26 tahun itu pada umumnya memikirkan pernikahannya. Tapi
Prita? Dia selama ini hanya sibuk dengan pekerjaannya saja. Di rumah
saja dia jarang mengobrol, dia sibuk dengan beberapa buku-buku di
kamarnya. Prita hanya tersenyum menanggapi pertanyaaan Agung.
“Kenapa
Cuma tersenyum?” Agung ingin tahu.
“Entahlah...
Lalu, bagaimana dengan dirimu? Bukankah kamu sudah 33 tahun? Kenapa
tidak segera menikah saja? Sudah banyak cewek yang antri, kan? Setiap
hari ada saja yang menunggumu di lobby, ganti-ganti terus pula
cewek-cewek kamu.” Prita membalas kalimat yang membuat mati kutu ke
Agung.
“Pintar
mengelak kamu Prita, ditanya malah balik tanya. Ya aku akui, banyak
wanita yang sudah mengantri. Tapi entah kenapa masih belum ada yang
pas dan buat nyaman hidup dan hatiku. Dan kamu sendiri? Sudahkah ada
seseorang di hatimu?”
“Entahlah,
Gung... aku juga tidak tahu, masih ada harapan atau tidak,”
jawabnya lesu.
“Kenapa?
Ada masalah? Ceritakanlah,”
“Sudahlah,
aku tidak mau membahasnya lagi. Pulang yuk, lah, sudah mulai gelap.”
Prita menghindari pertanyaan-pertanyaan yang membuat hatinya
tercabik-cabik. Selama ini Prita sudah pintar dan cukup untuk
menutupi masa lalunya. Prita ingin membuang masa lalu itu, tapi tetap
saja tidak bisa. Dia ingin beranjak pergi dari masa lalu dan
melepaskannya, tapi tetap saja seperti ada yang mencegahnya.
Bersambung ke Part 2: Mungkinkah Hanya Sebatas Teman? - Part 2 (Ending)
Semoga jodohnya Prita :D
ReplyDeleteiyaaa.. mudah2 an :D
DeleteWohooo.. mungkinkah ooo mungkinkah... ditunggu lanjutannya mba..
ReplyDeleteSenin saya lanjutkan, hihihihi mungkinkah, kita kan selalu bersama,, eh ini mah lagu..
Delete