Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tidak Mudah Untuk Menumbangkan Anak Pertama

Kedengarannya tidak adil ya? Kenapa harus anak pertama? Emang anak yang kedua, ketiga, dan seterusnya, mudah ditumbangkan? Hmm, bukan begitu sih maksudnya. Namun, sebagai anak pertama itu memang sangat kuat dan jeli dalam hal urusan apapun. Iya, apapun. Ini memang pengalaman pribadi sebagai anak pertama. Mungkin juga, bisa berbeda dengan teman-teman, karena ini murni dari diri saya sendiri.

Dari dulu saya malas atau enggan untuk bercerita tentang keluh kesah apa yang saya hadapi. Namun, karena kemarin adik saya yang kedua tumbang alias sakit, saya jadi angkat bicara. Kadang heran juga, karena cuma sebentar kecapekan langsung sakit. Oh, mungkin dia berbeda denganku yang memang sok rajin olah raga dan sudah banyak makan asam garam di dunia yang sedikit kejam ini.

Bukan maksud untuk menyombongkan diri, selama in sebagai anak pertama saya lebih tahan banting. Baik di dalam urusan rumah, kerjaan atau dulu di zaman sekolah, bahkan urusan yang menye-menye dengan hati. Selama ini, ketika ada masalah, saya masih bisa fokus dan berkonsentrasi terhadap pekerjaan yang sedang dihadapi. Entah mengapa secara alami wajah ceria selalu ada meski di dalam hati sebenarnya tersimpan begitu banyak kegundahan hingga ke otak berjibun berbagai masalah untuk diatasi.

Anak pertama, masih bisa tersenyum bahkan tertawa riang meski himpitan masalah mendera. Teman-teman atau orang sekitar, mengenalnya sebagai orang tanpa masalah dan selalu ceria.ya, dimaklumi saja kalau ada yang menilai begitu. Karena mereka tidak tahu apa-apa yang sebenarnya terjadi.

Apakah anak pertama tidak pernah bersedih? Pertanyaan semacam itu kerap kali muncul ketika terlihat begitu tenang menjalani hidup, tidak ada kesedihan dan rasa was-was di dalam diri anak pertama. Padahal anak pertama juga memiliki kesedihan yang begitu mendalam hingga ia sendiri tak mampu untuk mengungkapkanya. Hanya ketika sepi di gelapnya malam dengan tetesan hujan yang begitu deras mengguyur bumi, ia mampu menguraian butiran air dari matanya. Di situlah puncak kesedihannya, semua masalah dan beban hidup bermunculan di otaknya tanpa ia sadari.

Dari hal terkecil pun terpikirkan oleh anak pertama, yang lebih dikenal orang sebagai orang yang tidak peduli atau acuh tak acuh.

Kadang kita pun seperti daun kering, rapuh

Dan, untuk urusan hati, anak pertama hanya menjatuhkan air matanya hanya untuk orang yang teramat penting di hidupnya. Tak mudah untuk meluluhkan hatinya, terlebih jika hanya sebuah bas-basi tanpa kepastian. Anak pertama akan luluh ketika ada seseorang yang mau berjuang dengan sungguh-sungguh untuknya. Mungkin terkesan egois, ya? Tapi itu lebih baik, dari pada menerima begitu saja dan hancur di kemudian hari.

Dari semua itulah, anak pertama sulit untuk ditumbangkan. Memang bukan berarti anak pertama tidak pernah kalah atau gagal. Tapi, ketika down, pasti akan dengan mudah untuk merangkak kembali tanpa harus menyesali apa yang terjadi. Dia akan fokus terhadap apa yang saat ini dihadapi, dan dijlani. Namun, jangan salah mengira, bahwasannya anak pertama tidak akan mudah lupa kepada seseorang atau siapapun yang telah membuat dia hancur. Selamanya dia akan mengingatnya, siapa yang berbuat baik kepadanya, siapa yang pernah menusuknya dari belakang.

Wow, dendam, dong? Tidak, ia tidak dendam. Untuk apa mendendam, hal itu hanya membuat hidupnya resah dan tidak tenang. Dia mengingat semua itu untuk memotivasi diriya sendiri, bahwa dulu pernah dijatuhkan. Juga untuk pelajaran agar tidak jatuh di lubang yang sama.


Semua pengalamannya diingat,apa, siapa dan bagaimana setiap detiknya, tertata rapi dalam ingatan. Terlebih bagi mereka yang pernah merantau, sebuah nilai yang tinggi untuk disematkannya. Karena, sebagai anak pertama saja dia sudah cukup memahami arti dari kehidupan secara alami, ditambah dengan kehidupan di tanah rantau. Dia akan belajar dari kehidupan yang berbeda, tempat, lingkungan dan sosial. Semuanya ia cermati dengan jeli tanpa ada satu yang terlewati.

Ia mampu memandang dari segala sisi kehidupan, baik dari rakyat jelata yang tinggal di kolong jembatan atau dari golongan orang-orang yang hidup di ‘tanah basah’ tanpa kekurangan apapun. Ia mampu menyikapi kedua hal yang sangat berbeda dengan baik. Bisa hidup di tempat dengan perbedaan segala suku, ras, agama dan pandangan politik sekalipun. Ia mampu beradaptasi tetapi tidak mengikuti kehidupan mereka. Ya, seperti pepatah lama, ‘Di kandang kambing ia ikut mengembek, tapi dia tidak ikut menjadi kambing’.

Semua perkataan yang masuk menjadikannya pembelajaran secara alami dan menguatkan diri. Menjadikan anak pertama berubah sosok menjadi orang yang tak mudah tersinggung, tidak mudah mengecap orang bersalah dan tidak mudah menyalahkan orang.

Dengan sikap yang seperti itu, sering kali orang mengatakan kalau saya sudah mati rasa bahkan tak puya hati lagi. Segala macam sindiran atau kata yang kurang berkenan yang ditujukan hanya ditanggapi dengan seulas senyum tanpa membalas menyinyir. Mungkin karena saya tidak pernah iri atau merasa bagaimana terhadap orang lain, sehingga membuat mental saya cukup kuat meski belum sekuat baja.

Sesungguhnya anak pertama juga masih punya hati, rasa, dan sebagainya, sama seperti manusia lain. Hanya saja, kita sudah kebal dengan cibiran-cibiran yang miring. Karena anak pertama peranh mengalami hal yang jauh lebih buruk dari pada hanya sebuah omongan belaka. Kita pernah terperosok bukan hanya ke sebuah lubang tetapi jatuh dan tenggelam ke dalam sebuah jurang yang sangat curam. Namun, kegigihan, keuletan dan semangat serta percaya diri itu mampu membawa anak pertama kembali ke atas tebing. Memang tidak mudah untuk kembali lagi, terkadang, nyaris terjatuh lagi karena tebing itu sangat curam dan terjal, tetapi semangat dalam dirinya selalu ada dan tidak mudah untuk menyerah. Itu yang menjadikan anak pertama kembali ke puncak (tidak dalam waktu singkat).

Jadi, saya pun masih sama dengan teman-teman semua. Masih merasakan sedih dan bisa menangis, bahkan di dalam hati ini, jauh lebih rapuh dari pada orang lain, hanya saja tak sanggup untuk menumpahkan semua unek-unek.

Anak pertama juga bisa mengalami sakit. Kan, manusia biasa juga. Tetapi sebagian masih ada yang shock kalau saya sakit, “Eri sakit? Sakit apa? Kok bisa sakit?”

Ya Tuhan, aku pun manusia yang terlahir dari rahim seorang ibu. Makan pun sama dengan kalian, tentunya aku bisa sakit. Bahkan pernah mengalami sakit parah yang mengharuskan beristirahat total hanya untuk makan dan tidur.


Ya begitulah. Anak pertama selalu ceria, riang, dan terlihat bahagia, itu bukan berarti tidak punya masalah, tetapi ia tidak ingin berbagi kesedihan. Bukan tidak percaya kepada teman-temannya untuk menampung keluh kesahnya, tetapi ia sendiri tidak tahu bagaimana cara mengutarakannya.
Eri Udiyawati
Eri Udiyawati Hallo, saya Eri Udiyawati. Seorang Perempuan yang suka menulis dan traveling. Blogger asal Purbalingga, Jawa Tengah. Suka menulis berbagai topik atau bahkan mereview produk. Email : eri.udiyawati@gmail.com | Instagram: @eryudya | Twitter: @EryUdya

4 comments for "Tidak Mudah Untuk Menumbangkan Anak Pertama"

  1. Ko baru familiar y pepatah ini mba ‘Di kandang kambing ia ikut mengembek, tapi dia tidak ikut menjadi kambing’.xixixi
    btw anak pertama kan yg plg dulu menikmati kasih sayang ortu maka ia harus merelakan ketika kasih sygnya terbagi maka dari itu anak pertama pasti kuat tp gmn cara didiknya si mba. Aku lihat ada aza si anak pertama yg begitu egois minta ampun ga mau ngalah boro berbagi pelitnya masyaAlloh ckckck...

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahah iya, anak pertama udah dapat kasih sayang pertama, jadi memang harus lebih banyak mengalah ke adik-adiknya. :D

      Delete
  2. Kalau menurut saya mah mbak jadi anak pertama itu anak enaknya dan ada tidak enaknya (walaupun saya bukan anak pertama) mungkin kalau enaknya ya tidak suka dimarahin karena sudah dewasa dan tidak enaknya ya gituh harus bisa membingbing adik adik agar bisa lebih baik dan kalau tidak bisa digampar deh.

    ReplyDelete
  3. Tapi di antara aku dan adek2ku, justru anak ketiga yg seperti ini mbak :D.. aku yg anak pertama aja g bisa sekuat adikku yg no 3. dia jauuuh lbh dewasa, lbh sabar, lbh kuat dibandingin kita kaka2nya.. justru aku paling inget bgt, adikku yg no 3 ini yg pas kecil dulu jarang bgt nangis, dan paling pemaaf.. duuh, jd malu malah kalo inget dulu srg ngebully dia pas kecil -__-

    ReplyDelete