Fiksi : Ini Jalanku
INI
JALANKU
Oleh
: Eri Udiyawati
Hari
ini, aku sedang tergesa-gesa. Tepatnya sedang terburu-buru mengejar
dosen pembimbing skripsi. Minggu ini adalah minggu terakhir untuk
menyelesaikan skripsi. Aku harus lulus tahun ini, setelah tahun lalu
skripsiku gagal karena konsentrasiku terpecah ke tour de Australia
yang diselenggarakan kekasihku, Doni. Setelah berjam-jam aku mencari
dosen pembimbing, Bapak Ismail, akhirnya aku bisa bertemu di ruang
perpustakaan.
Singkat
dan jelas dia mengoreksi tumpukan kertas yang aku sodorkan kepada
beliau. Dia mencermati dengan seksama. “Bagus, “ komentarnya. Itu
membuat senang, semoga saja tidak ada yang perlu direvisi kembali.
Dan benar, Pak Ismail menandatangani sejilid kertas setebal 200
halaman itu. Aku sangat lega. Akhirnya, aku bisa wisuda tahun ini.
Aku bersorak gembira di dalam hati. Jika diekspresikan mungkin saja
satu gedung kampus akan mendengarkan suaraku.
Setelah
lega karena skripsiku sudah lolos, aku langsung menuju kantin. Rasa
lapar dan haus setelah berjam-jam mencari orang penting itu rasanya
sungguh sesuatu. Sampai di kantin aku langsung memesan bakso dan jus
jambu kesukaan. Sambil menunggu pesanan, aku membuka hp, dan
ternyata, sudah begitu banyak pesan yang masuk. Satu per satu aku
baca, di antaranya ada pesan dari Doni, ada dua belas pesan dengan
kalimat yang sama. Ya, karena pesan belum pernah aku balas, dia terus
mengirimkannya. Itulah kebiasaannya.
Isi
pesan itu, dia memintaku untuk hadir di acara pesta ulang tahunnya ke
dua puluh lima. Tentu saja aku membalas bahwa aku akan datang. Selain
itu, aku juga mengabarkan bahwa skripsiku sudah disetujui.
Malam
yang ditunggu pun hadir, tamu undangan dari teman-teman dan relasi
bisnis orang tuanya, sekitar empat ratus tamu yang datang. Aku
mengenakan gaun berwarna putih oriental dengan sepatu hak yang tingginya
mencapai 10 cm. Aku berjalan dengan anggun menuju kekasihku. Dia
melempar senyum yang manis untukku. Aku melihat dia sangat bahagia
karena melihat aku hadir di antara kerabat dan keluarganya.
Saat
sedang asyik berbicang dengan Doni, ibunya membuat pengumuman. Hal
itu menjadikan semua yang hadir memperhatikannya.
“Selamat
malam, semua,” sapanya.
“Malam,”
jawab serempak kami yang menghadiri.
“Sebelumnya,
saya mengucapkan terima kasih kepada seluruh rekan, kerabat, dan
relasi, yang telah berkenan hadir di acara ulang tahun anak tunggal
kami, Doni Hendrawan.”
Semua
orang menatapnya, menunggu apa yang akan disampaikan oleh wanita
cantik berusia 52 tahun itu.
“Di
kesempatan ini, saya akan mengumumkan, bahwa, anak kami, akan segera
bertungangan.”
“Bertunangan?”
semua orang saling menatap dan bertanya tak terkecuali aku. Aku
langsung bertanya pada Doni, tapi dia hanya menggelengkan kepala
tanda bahwa dia tidak tahu.
Aku
menunggu jeda waktu apa yang akan disampaikan oleh ibunya. Aku merasa
sedikit bahagia, aku yakin ibunya akan menyebut namaku. Keluarganya
sudah mengetahui bahwa Doni dan diriku menjalin sebuah ikatan sejak
dua tahun yang lalu.
“Langsung
saja, di samping kanan saya ini, dia adalah calon istri Doni. Dia
baru saja menamatkan kuliahnya di Sydney. Gadis cantik ini bernama
Shella Feriawan.”
Semua
orang bertepuk tangan, tapi aku dan Doni hanya saling memandang. Apa
maksud semua ini? Tanpa sadar aku menitihkan air mataku. Aku merasa
dipermalukan di tempat ini. Perlahan tapi pasti, aku meninggalkan
Doni meski dia mencoba mencegahku.
Semua
mata tertuju padaku. Aku yang seperti kalah dalam sayembara cinta ini
melangkah dengan rasa malu, sakit dan hancur. Aku sangat tidak tahan
di gedung ini. Dengan setengah berlari, aku menuju tempat parkir di
mana aku bisa segera meluncur dengan jazz warna merah. Ini
adalah hal yang paling buruk yang pernah ada di hidupku. Di
permalukan di depan umum!
***
Aku
mencoba bertahan dari semua puing-puing hati yang telah hancur. Orang
yang aku cintai, dia harus memilih orang lain. Aku tidak tahu,
mengapa semua ini terjadi padaku? Mengapa dia tidak pernah bercerita
sebelumnya? Salah apa aku ini? Sekian bulan aku terus bertanya-tanya
pada diri sendiri. Doni, menerima dia? Lalu, aku dianggap sebagai
apa? Sedangkan aku orang yang telah lama mengenalnya.
Hari
ini aku wisuda, tanpa Doni, dia sudah tiga bulan menikah, tapi aku
masih merasakan kehancuran di hati. Doni hanya mengirim pesan meminta
maaf karena harus menuruti kedua orang tuanya demi kelangsung hidup
perusahaannya. “Aku benar-benar merasa dipecundangi, seandainya
saja aku punya perusahaan besar, mungkin cintaku tidak akan kandas
seperti ini.” Pikirku.
Seusai
wisuda, aku masih belum terpikir untuk melangkah kemana. Aku
mendaftar kerja kemana pun aku tidak tahu. Pikiran dan hatiku masih
sakit. Aku mencoba berjalan di atas reruntuhan nestapa. Dan pada
akhirnya aku temukan sedikit jalan untuk melupakan Doni. Ada
pengumuman tentang beasiswa untuk kuliah di luar negeri. Aku tertarik
dengan hal ini. Aku bisa di luar negeri, meninggalkan semua kenangan
manis dengan Doni.
Ini
sudah tekadku, meski kedua orang tuaku melarangku untuk kuliah di
negeri orang. Tapi, apa dayaku. Di negeri yang ku cintai ini, masih
tercium aroma tentang Doni. Aku tidak ingin terluka terus menerus.
Diri dan hatiku, harus pulih kembali, karena aku juga mencintai
diriku sendiri. Aku tidak akan pernah rela diri ini tersakiti lagi.
Ini sudah jalanku. Aku harus pergi.
Sehari
sebelum aku terbang ke Itali, Doni menemuiku. Entah dari mana dia
tahu kalau aku akan pergi ke Eropa. Menahanku dan juga meminta maaf
karena telah melukaiku. Dia mengungkapkan semua penyesalan menikah
dengan Shella. Doni tidak pernah merasa bahagia dengan pernikahan
itu, dia berniat akan menceraikan Shella dan kembali padaku.
Mendengar
penjelasan tentang perasaan Doni yang masih mencintaiku, membuatku
melayang lagi. Seperti menghirup udara segar di pagi hari. Namun,
logikaku berjalan. Tidak! Aku tidak akan menerima Doni
kembali. Aku memang masih sangat mencintainya, tapi jika aku kembali
dengannya, pasti diri akan terluka lagi. Dan mungkin akan lebih
terluka dari ini.
Ini
sudah menjadi jalanku. Aku harus pergi. Harus, tidak boleh tidak,
karena aku juga mencintai diri ini. Aku tidak akan membiarkan siapa
pun menyakitinya lagi. Terlebih, aku harus mengembangkan bakatku
tentang design grafis di Negeri Pizza. Aku tidak mau menangisi dan
meratapi terus tentang hilangnya kekasih hati. Untuk itu, kupilih
meninggalkan Doni, biarkan kenangan di antara kita terkubur dan usang
dimakan waktu.
Mantap :D
ReplyDeleteSaya tahan napas loh bacanya. Tegang...trus sedih 😥😩
ReplyDeleteIni cerpen atau beneran curhat?
Ugh...keren!
Oiya...coba deh cari buku2 kepenulisan. Bisa lewat priceza.co.id yang bantuin kamu banget, bisa ngasih solusi shop terpercaya dengan harga murah. Kalau udah dapat referensi bukuw kepenulisan, pasti makin kece deh karyanya. Terus kirim ke media, bakal dimuat!
suka sama tulisannya
ReplyDelete